Saturday, June 25, 2016

Parsel Lebaran

Oleh Kisdiantoro
SELAMA Ramadan banyak orang mengirim makanan atau apapun yang bermanfaat kepada orang lain. Ini adalah hal yang lumrah, bahkan dianjurkan karena puasa yang dijalankan umat Islam yang muaranya menjadi manusia bertakwa, satu diantara parameternya adalah istikamah dalam berbagi atau bersedekah, baik di kala melimpah harta maupun saat sedang sempit.
Berbagi makanan ini, di banyak tempat, teruama di perdesaan, malah menjadi tradisi. Waktunya tak terbatas hanya selama Ramadan. Misalnya di Purwakarta, ada tradisi seba nagri, yakni menyerahkan beragam hasil bumi dari rakyat kepada penguasa.
Di daerah lain di Banyumas, Jawa Tengah, tradisi serupa pun masih berlangsung, terutama di desa-desa, dari petani ke kepala desa. Berbagi di antara warga dengan mengirimkan bingkisan berisi beras, telur, sayuran, atau jenis sembako lainnya pun masih lestari. Anda bisa menyaksikan peristiwa ini ketika ada keluarga yang membangun rumah atau hajat lainnya.
Tradisi berbagi selama Ramadan semakin terasa karena intensitasnya kian tinggi. Lalu, puncaknya pada hari-hari menjelangLebaran atau perayaan Idulfitri, orang-orang berlomba mengirim makanan, umumnya ketupat dan lauk pauknya, kepada keluarga atau sahabat. Pemberian itu sebagai bentuk rasa syukur dan tali pengikat persaudaraan. Tak terbesit di dalam sanubari mereka berharap untuk mendapatkan imbalan apapun. Bagi mereka yang menerima kiriman makanan atau bingkisan pun merasa gembira, tanpa terbebani harus menjanjikan sesuatu kepada pengirim, kecuali hendak melakukan kebaikan yang sama di waktu yang lain.
Pada masyarakat modern, mengirim bingkisan ini masih berlangsung. Hanya isi bingkisannya tak serupa dengan yang dikirim orang-orang desa kepada keluarganya. Isinya tak melulu makanan dan minuman saja, tetapi bisa berisi cenderamata berharga mahal. Kalau masih mempertahankan isi makanan, harganya tergolong mahal mulai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Menyesuaikan isinya yang bernilai mahal, namanya pun berubah. Orang kini menyebutnya "parsel."
Tradisi berkirim parsel menjelang Idulfitri masih berjalan wajar karena hal itu dilakukan dengan dasar ingin ikut merayakan kebahagiaan, berbagi karena ada kelebihan rezeki, mengikat tali persaudaraan, dan alasan positif lainnya.
Namun, tradisi berkirim parsel mulai diatur sejak bangsa ini terjangkit penyakit korupsi. Para perjabat atau PNS, mulai tingkat pusat hingga daerah, seperti di Kota Bandung, dilarang berkirim atau menerima parsel. Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, mewanti-wanti pegawainya tak menerima parsel merujuk kepada aturan KPK yang menyatakan parsel yang diterima PNS sebagai barang gratifikasi. Emil, demikian sapaannya, menegaskan akan memberi sanksi kepada aparaturnya yang menerima gratifikasi. Sanksi yang diberikan pun sesuai yang tertera dalam aturan KPK yang tertuang dalam Pasal 12B ayat (2) UU No 31/1999, jo UU No 20/2001.
Dalam pasal itu disebutkan ancaman hukuman bagi penerima gratifikasi ialah penjara seumur hidup atau penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun. Serta pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Larangan KPK dan Emil dapat dipahami karena banyak oknum yang mengirimkan parsel sebagai suap untuk tujuan tertentu, semisal mendapat proyek ratusan miliar dari pemerintah. Maka, isi parselnya pun tak lagi hanya makanan, tapi bisa jadi terselip kunci mobil atau kunci rumah.
Agar parsel tak memenjarakan pengirim dan penerimanya, wajarlah berkirim parsel diatur. Berkrimlah parsel dengan isi yang wajar. Niatnya pun harus tulus, setulus orang-orang desa yang berkirim sembako atau ketupat menjelang Idulfitri. (*)

Tribun Jabar Online, Selasa, 21 Juni 2016 11:36

http://jabar.tribunnews.com/2016/06/21/parsel-lebaran

Prostitusi di Malam Ramadan

Malam-malam bulan Ramadan di sejumlah tempat, masjid dan mushala, di Jawa Barat disesaki oleh jamaah yang mengerjakan salat tarawih berjamaah. Kemeriahan Ramadan dilanjutkan dengan berzikir atau membaca ayat-ayat di dalam Alquran. Umat Islam meyakini pada bulan yang diwajibkan puasa bagi setiap orang yang beriman, ada pahala yang berlipat ganda pada setiap amalan. Tentu amal kebaikan.

Di akhir ujian mengerjakan puasa sebulan penuh, umat Islam akan mendapati hari yang amat membahagiakan, Idulfitri. Hari kembalinya orang-orang yang berpuasa kembali suci karena Allah telah mengampuni dosa-dosanya. Bahkan di dalam sebuah hadist Nabi Muhammad, disebutkan, barang siapa yang mengerjakan puasa Ramadan dengan penuh keimanan dan keihlasan maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Untuk mendapatkan ampunan Allah tentu tidak cukup dengan menahan lapar dan dahaga saja. Melainkan diiringi dengan menutup celah untuk berbuat maksiat atau amalan-amalan keburukan. Hal itu juga belum cukup karena selama 11 bulan lain di luar Ramadan, seseorang yang berharap mendapatkan ampunan Allah, juga mestinya menjaga dirinya untuk tetap berbuat kebaikan. Jika ia tak mampu menambah dengan amalan sunah, maka setidaknya mengerjakan standar minimal ketataatan kepada Allah.

Lalu bagaimana mungkin Allah akan menghapus dosa-dosa seseorang jika menyambut Ramadan dengan cara melakukan amalan keburukan. Seperti halnya yang dilakukan sejumlah wanita di Cianjur yang tertangkap Satpol PP, sedang kongkow hingga larut malam di malam Ramadan.

Apa yang sedang mereka lakukan? Kepada petugas mereka mengatakan sedang papajar alias menyambut Ramadan. Alasan yang tidak bisa diterima karena hal itu dilakukan di tempat-tempat dan waktu yang tidak lazim. Mereka berkumpul di tempat hiburan malam hingga dini hari.

Papajar sebenarnya adalah tradisi yang baik jika mereka melakukannya seperti yang dilakukan oleh orang-orang zaman dahulu. Orang-orang Cianjur menggelar trandisi papajar ini dengan melakukan tafakur, berzikir, dan memperbanyak silaturahim dengan sanak keluarga. Mencurahkan rasa bahagia akan datangnya Ramadan, lalu sebagian diantaranya melakukan makan bersama. Tempatnya bisa di rumah atau objek wisata yang tak jauh dari kediaman mereka. Tradisi ini, di tempat lain dikenal dengan istilah munggahan, bersilaturahmi sembari makan bersama.

Maka, Satpol PP Kabupaten Cianjur telah berbuat kebaikan dengan mengamankan sekumpulan perempuan yang kongkow di tempat hiburan di malam Ramadan. Bukan saja karena hal itu memang dilarang, tetapi juga dikhawatirkan menjadi bagian dari kegiatan prostitusi yang belakangan muncul di Cianjur.

Seperti diketahui, beberapa hari menjelang Ramadan Polres Cianjur berhasil mengungkap bisnis prostitusi via online dengan menagkap dua orang mucikari. Teganya, mereka menjajakan perempuan yang masih bersetatus pelajar SMA. Miris bukan?

Setelah pengungkapan itu, nampaknya Pemerintah Kabupaten Cianjur tak mau wilayahnya menjadi tempat transaksi prostitusi. Maka, petugas Satpol PP pun kini kian gencar melakukan pengawasan di rumah kos dan villa yang dicurigai kerap dijadikan tempat prostitusi.

Di Ramadan yang penuh berkah, berharap prostitusi bisa dihapuskan karena akan merusak moral generasi muda. Setelah tindakan razia, pemerintah wajib memikirkan kehidupan mereka agar tidak kembali ke jalan yang salah. Pembinaan dan penyediaan lapangan pekerjaan adalah satu diantara solusi yang perlu dipikirkan. Jika sebelas bulan dapat dilalui dengan kebaikan-kebaikan, maka ampunan Allah di bulan Ramadan berhak untuk didapatkan. (*)

Telah diterbitkan di Tribun Jabar edisi cetak dan online, 7 Juli 2016

Friday, June 24, 2016

Larangan Pelepasan Kelulusan Sekolah di Tempat Mewah, Taat atau Tutup Telinga Saja

PEMERINTAH Kota Bandung melalui Dinas Pendidikan (Disdik) mengeluarkan surat edaran yang ditandatangani Kepala DisdikKota Bandung, Drs H Elih Sudiapermana Mpd, Kamis (19/5). Isinya berupa larangan kepada semua sekolah, mulai tingkatan SD, SMP, hingga SMA/SMK, baik sekolah negeri maupun swasta, yang di akhir tahun ajaran mengagendakan kegiatan pelepasan siswa, untuk tidak menggelarnya di hotel atau tempat mewah.
Larangan kedua, dalam surat itu, pihak sekolah tidak diperkenankan melakukan pungutan kepada orang tua siswa dan bentuk lainnya yang memberatkan. Jika sekolah mengabaikan peringatan tersebut, maka pemerintah akan memberikan sanksi.
Surat edaran tersebut dikeluarkan Disdik Kota Bandung tentu memiliki alasan dan tujuan yang baik. Kajian terhadap ekses negatif kegiatan yang hanya berupa seremonial di hotel atau tempat mewah dengan biaya yang mahal pun bisa jadi telah dilakukan.
Apa alasannya? Surat edaran ini dikeluarkan bisa jadi karena ada indikasi atau gelagat sekolah di Bandung hendak menggelar acara pelepasan di hotel. Jika ini dilakukan, apa salahnya? Tentu tidak salah. Hanya, ditimbang dari sisi manfaat, prosesi pelepasan siswa di hotel sama sekali tidak memberi manfaat yang besar, baik untuk sekolah, siswa, maupun orang tua siswa. Sebagian orang mungkin berpendapat kegiatan di hotel adalah prestise dan menjadi kebanggan. Atau menjadi simbol status bahwa sekolah yang demikian adalah sekolah hebat. Kebanggaan itu sama sekali tidak berkorelasi dengan prestasi akademik yang ditunjukkan oleh sekolah maupun siswa.
Lalu untuk siswa apakah hal ini memberikan manfaat? Tidak ada, kecuali alasan yang diada- adakan, seperti alasan di atas. Bagi orang tua siswa, kegiatan yang hanya berupa penyerahan selembar kertas tanda kelulusan dan makan-makan di hotel, juga tak ada keuntungannya. Malah sebaliknya, kebanyakan orang tua akan keberatan karena kegiatan semacam itu tentu memerlukan dana yang sumbernya dipungut dari orang tua. Dana di sekolah, berupa kucuran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) peruntukannya bukan untuk kegiatan seremonial pelepasan siswa.
Maka, pantas diapresiasi usaha yang dilakukan Disdik Kota Bandung yang melarang kepala sekolah melakukan pungutan dan semacamnya yang memberatkan orang tua siswa.
Acara pelepasan siswa tak kalah hikmat dan membanggakan meski hanya dilakukan di aula atau halaman sekolah. Pihak sekolah dan orang tua siswa tidak akan kehilangan rasa bangga hanya karena menggelar acara itu di sekolah. Mereka harus bangga karena anak-anak berhasil menempuh pendidikan dan dinyatakan lulus ujian nasional. Selain itu, upacara kelulusan yang hanya dilakukan di sekolah tidaklah menjadi syarat untuk melanjutkan ke perguruan tinggi atau syarat mencari pekerjaan. Keduanya hanya akan menilai prestasi yang diraih para siswa.
Lantas bagaimana jika sekolah tetap keukeuh menggelar pelepasan siswa di hotel dan memungut sejumlah uang kepada orang tua siswa? Disdik Kota Bandung memang tak memberikan penjelasan sanksi yang jelas. Tapi, jangan merasa bahagia karena bebas untuk melanggar aturan. Sebab, DRPD Kota Bandungmengusulkan kepada Wali Kota Bandung Ridwan Kamil dan DisdikKota Bandung untuk memberikan sanksi tegas kepada kepala sekolah, yaitu berupa pencopotan jabatan kepala sekolah dan menjadikannya seroang guru biasa. Bahkan jika pelanggaran tergolong berat, mutasi ke sekolah di daerah atau pemecatan pun bisa dilakukan.
Sebagai lembaga yang memiliki tugas mendidik anak-anak generasi bangsa, sudah sepantasnya memberikan teladan yang baik dengan cara menaati aturan dan bersikap bijaksana. Jika ini dilakukan, maka para guru di sekolah berhasil menjadi seorang pendidik. (*)

Korupsi BPJS

APA kabar BPJS? Belum lama ini, pemerintah yang dinakhodai Presiden Joko Widodo berniat menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas tiga, dari semula Rp 25.500 menjadi Rp 30.000. Alasannya, biaya yang ditanggung pemerintah membengkak dan hampir mengalami kebangkrutan jika iuran tak dinaikkan.
Gelombang protes pun bermunculan, mulai dari pengguna layanan BPJS Kesehatan kelas 3, maupun dari kalangan DPR RI yang membidangi masalah tenaga kerja dan transmigrasi kependudukan serta kesehatan.
Aksi jalanan oleh aktivis buruh dan mahasiswa pun tak terbendung. Mereka berpendapat, kenaikkan iuran meskipun hanya Rp 4.500, yang bagi kalangan berduit uang sebesar itu seumpama sebutir debu, bagi golongan rakyat miskin, adalah beban. Dan hampir semua pengguna BPJS Kesehatan kelas 3 ini adalah masyarakat miskin.
Alasan lainnya, layanan berobat untuk kelas 3 kerap mendapat diskriminasi dan sangat tidak memuaskan. Semisal, antrean yang panjang dan perlakukan yang tak nyaman. Melihat kenyataan itu, akhir Maret 2016, Jokowi akhirnya membatalkan kenaikan iuran untuk pemegang kartu BPJS kelas 3.
Rakyat miskin tidak bersorak karena meski tidak naik, beban hidup mereka tidak serta-merta menjadi ringan. Tapi mereka tetap bersyukur, uang Rp 4.500 bisa untuk jajan anak. Obrolan soal BPJS Kesehatan mereda, tersisa layanan yang masih saja belum bisa membuat pasien secara ikhlas mengangkat jempol.
Senin (11/4), obrolan BPJS kembali menjadi tema utama di masyarakat. Tarif bakal naik? Bukan. Melainkan ada dugaan uang BPJS digelapkan.
Memang belum jelas betul, BPJS yang mana, kesehatan atau ketenagakerjaan.
Desas desus adanya operasi tangkap tangan oleh KPK yang berembus sejak pagi, terungkap bahwa KPK dan Kejaksaan telah menangkap seseorang jaksa perempuan bernama Devi, yang berdinas di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Devi disergap petugas KPK sebelum masuk ke kantor pada pukul 07.00.
Kasipenkum Kejati Jabar, Raymond Ali, menyebutkan penangkapan Devi terkait dugaan korupsi BPJS di Kabupaten Subang.
Devi kemudian diboyong ke kantor KPK Jakarta. Kasus korupsi BPJS di Subang merugikan uang negara Rp 685 juta. Ada kemungkinan jaksa ditangkap karena menerima gratifikasi. Namun, kepastiannya masih diteliti.
Jaksa sudah ditangkap. KPK kemudian mengurai kasus korupsi BPJS ini dengan menggeledah kantor Bupati Subang, Ojang Sohandi.
Dari kantor sang Bupati, KPK membawa sekoper berkas. Kantor lain yang digeledah KPK adalah Badan Penanaman Modal dan Perizinan (BPMP) Subang.
Apakah Pak Bupati terlibat? Beritanya belum jelas. Harapan saya dan juga masyarakat, Bupati Ojang tak terlibat dan tetap bisa memimpin Subang hingga paripurna.
Berharap nasibnya tak seburuk nasib bupati sebelumnya, Eep Hidayat.
Eep yang semula diputus bebas Pengadilan Tipikor Bandung atas perkara korupsi Biaya Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pemerintah Kabupaten Subang tahun 2005-2008 senilai Rp 2,5 miliar, divonis 5 tahun penjara oleh Mahkamah Agung. Upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (PK) Eep pun ditolak MA.
Mencuatnya kasus operasi tangkap tangan jaksa oleh KPK dan penggeledahan kantor bupati, kembali mengalirkan obrolan soal BPJS. Bagaimana mungkin pelayanan kesehatan akan semakin baik dan pasien segera sembuh kalau uang iuran dari masyarakat dikorupsi.
Segala keluhan soal layanan bisa dimentahkan pihak penyelenggara, yakni rumah sakit, kalau klaim pengobatan mandeg. Atau, para pekerja akan sakit hati, membayangkan uang iuran yang akan dinikmati di masa pensiun ternyata diselewengkan. (*)
Telah dimuat di Tribun Jabar edisi online, Selasa, 12 April 2016 08:32

Saturday, December 12, 2015

Festival Antikorupsi dan Pilkada

Oleh Kisdiantoro

PEKAN ini Indonesia menyelenggarakan dua hajat besar, pemilihan kepala daerah (Pilkada) bupati/walikota pada Rabu (9/12) dan gelaran Festival Antikorupsi Bandung 2015 pada Kamis (10/12) yang berpusat di Kota Bandung.

Entah kebetulan atau tidak, dua hajat tersebut berlangsung secara berurutan. Pilkada yang dalam prosesnya telah memakan waktu lama, menyaring sejumlah pasangan secara ketat untuk menjadi bagian dari pesta demokrasi serentak ini. Mulai dari kelengkapan administrasi, seperti keaslian ijazah, kesehatan pasangan, laporan harta kekayaan, jumlah tim sukses, bebas dari konsumsi narkoba,  tidak dalam masa hukuman, dan lain sebagainya. Lalu dilanjutkan penyelenggaraan sosialisai dan kampanye. Tahap akhir, penyelenggaraan pemilihan para kontestan dan penetapan pemenang Pilkada oleh KPU.

Proses seleksi yang ketat itu diharapkan agar para pasangan calon terpilih mampu memenuhi harapan rakyat, bertindak adil, bekerja keras, mensejahterakan rakyat, dan yang dominan mendapat sorotan adalah tidak mencuri harta rakyat yang nantinya akan mengantarkan mereka ke penjara.

Sementara ini, Pilkada di Jawa Barat berjalan kondusif, tak terdengar kegaduhan dan teriakan keras pada pasangan calon kepala daerah memprovokasi para pendukungnya untuk mengacaukan Pilkada, karena perolehan suara rendah. Kapolri Jenderal Badrodin Haiti yang memantau jalannya Pilkada di Karawang, mengatakan, mendengar adanya praktik politik uang di sejumlah daerah. Bila ada temuan dan pasangan calon tidak terima, maka jalur hukum adalah solusinya, bukan pengadilan jalanan atau pengerahan massa untuk menciptakan suasana rusuh.

Masih dalam suasana Pilkada, Festival Antikorupsi Bandung 2015 yang berpusat di Kota Bandung menggema ke seluruh penjuru Indonesia, termasuk ke daerah-daerah yang menyelenggarakan Pilkada. Sejumlah tokoh antikorupsi datang ke acara ini, mulai dari Plt Ketua KPK Taufikurahman Ruki, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Menkopohukam Luhut Panjaitan, Menteri ESDM Sudirman Said, Kepala Kejaksaan Agung HM Prasetyo, hingga sejumlah wali kola dan bupati.

Acara ini membawa pesan agar rakyat dan semua pihak yang mengelola negeri ini melawan praktik korupsi. Praktik mencuri uang rakyat ini disepakati sebagai tindakan kejahatan berat karena merugikan dan menyengsarakan kehidupan rakyat. Kejahatan berat ini diharapkan tidak dilakukan oleh para pemenang kepala daerah yang baru. Jika kelak mereka tetap melakukan korupsi, sungguh terlalu. Pesan larangan itu terdengar sangat keras, apalagi teriak

Anak-anak Indonesia yang membentangkan kain berisi 20.000 cap tangan di Perca Intergitas di Alun-alun Bandung dalam Festival Antikorupsi tidak hanya menentang korupsi, tapi mereka mencintai para pemimpin agar tidak menghabiskan waktu bertahun-tahun di dalam penjara.
an stop korupsi berlangsung beriringan dengan hajat Pilkada.

Cukuplan sejumlah cerita para kepala daerah yang masuk penjara karena korupsi menjadi pelajaran berharga. Kasus teranyar kepala daerah masuk penjara adalah Bupati Sumedang Ade Irawan yang divonis dua tahun penjara karena terbukti melakukan korupsi dana perjalanan dinas. Sebelumnya, Majelis Hakim memvonis mantan Wali Kota Bandung Dada Rosada 10 tahun penjara karena tersangkut kasus korupsi dana bantuan sosial (Bansos). Lalu, Bupati Garut Agus Supriadi dihukum 10 tahun penjara dalam pengadilan banding karena melakukan korupsi APBD Kabupaten Garut tahun anggaran 2004-2007. Contoh lain, Mantan Gubernur Jawa Barat, Danny Setiawan, divonis empat tahun penjara, karena kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran Jawa Barat 2004. Beberapa kepala daerah yang terseret kasus korupsi divonis bebas.

Apakah mereka gembira? Dalam bantin mengatakan 'tidak.' Sebab, dalam sejarah mereka akan tercatat pernah masuk pengadilan karena perkara korupsi. Maka, para bupati/waki kota terpilih dalam hajat Pilkada, ingatlah pesan Festival Antikorupsi Bandung 2015, kebahagiaan pun akan engkau raih. (*)





Sorot, Sabtu, 12 Desember 2015

Kendel, Kandel, Bandel, Ngandel

ANAK-anak pelajar Sekolah Dasar di Kota Bandung mengekspresikan penolakan terhadap korupsi yang merajalela di Indonesia. Mereka melakukan dengan membubuhkan cap tangan di atas kain perca. Lalu menggoreskan spidol hitam dengan kata-kata yang isinya "lenyaplah" korupsi dan koruptor dari bumi Indonesia.
Cap telapak tangan murid-murid SD Kota Bandung itu akan dipajang di Alun-alun Kota Bandung di Hari Antikorupsi pada 9 Desember 2015. Kegiatan yang berlangsung Jumat (27/11/2015) itu sejatinya adalah upaya keras untuk memutus mata rantai korupsi yang menjangkit negeri ini.
Pendidikan antikorupsi sejak dini adalah jalurnya. Melalui upaya semacam itu, kita ingin anak- anak memiliki sifat kendel, kandel, bandel, ngandel. Empat kata ajaran bapak guru bangsa Ki Hajar Dewantara yang jarang terdengar di telinga.
Umumnya, kita hanya mengenal Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani.
Ki Hajar meyakini empat hal itu dapat membentengi manusia dari berbuat curang dan bertindak tanpa landasan yang benar.
Kendel, artinya berani. Maksudnya, kita berupaya sejak dini agar anak-anak berani bersiap dan melakukan apa saja yang baik demi kemajuan dirinya dan orang lain.
Tapi berani saja tidak cukup. Karena banyak tindakan yang dilakukan hanya bermodal berani ternyata salah dan mengganggu orang lain bahkan negara. Apalagi jika tak disertai tanggungjawab. Sebagai contoh, peristiwa ricuh kongres HMI di Pekanbaru, Riau.
Dengan beraninya, sekelompok (oknum) mahasiswa anggota kongres memukul dan melemparkan batu hingga terjadi kericuhan. Kongres yang mestinya menjadi ajang latihan bagi para mahasiswa memimpin negeri ini, malah jadi ajang tawuran dan meluapkan kemarahan. Sejumlah korban terluka dan dilarikan ke rumah sakit. Polisi menemukan banyak alat bukti berupa senjata api rakitan, parang, dan lainnya.
Berita mengejutkan lain, ratusan anggota kongres itu makan di restoran dan tidak membayar. Tindakan yang berani tapi tidak bertanggungjawab. Akhirnya mereka pun ditangkap polisi. Maka, anak-anak perlu memiliki sifat kandel. Maksudnya, anak harus tumbuh dengan ilmu yang luas.
Ilmu itulah yang akan memagari anak berbuat curang atau melanggar hukum. Ilmu yang menyadarkan mereka bahwa korupsi adalah pelanggaran dan dapat membuat hidup sengsara. Banyak contoh yang menggambarkan betapa sakitnya menjadi koruptor yang menjadi penghuni penjara atau wara wiri muncul di televisi dengan status "tersangka korupsi."
Kita juga menginginkan anak-anak tumbuh dengan sifat bandel. Loh? Bandel yang dimaksud Ki Hajar adalah anak-anak haruslah memiliki sifat yang tahan, kuat, resisten, terhadap godaan. Godaan dari semua ajakan berbuat jahat dan curang.
Banyak pejabat di negeri ini sangat tahan terhadap godaan berbuat curang tapi begitu masuk lingkaran kekuasaan, menjadi pejabat eksekutif maupun legislatif, terperangkap korupsi. Akhirnya, penjara pun menjadi rumah mereka.
Agar keberanian, ilmu, dan ketahanan diri terhadap godaan negatif anak-anak menjadi sempurna, Sang pendiri Perguruan Taman Siswa itu, melengkapi sifat lain, yakni ngandel.
Anak Indonesia haruslah ngandel atau percaya diri. Bukan overconvidence! Melainkan percaya diri karena setiap tindakannya dipercaya, dipegang kejujurannya, dan karena kebaikan-kebaikan lainnya.
Karena kebaikan itulah yang mengangkat derajat seseorang baik di dunia maupun ketika sudah wafat. Akhirnya, kita berharap semoga usaha keras para pendidik agar anak-anak memiliki sifat kendel, kandel, bandel, ngandel ini tidak sia-sia dan kalah pengaruh dari derasnya contoh buruk yang diberikan olah para pemimpin bangsa ini. (*)

Sorot, Senin, 30 November 2015 11:02

Doa Si Miskin Asep Sutandar Terkabul Melalui Tangan Sang Komandan

DOA yang dipanjatkan Asep Sutandar (63) dan keluarganya selama bertahun-tahun dikabulkan Allah, melalui perantara tangan Komandan Distrik Militer 0608 Kabupaten Cianjur, Letkol Arm Imam Haryadi. Keinginannya memiliki rumah yang layak untuk menggantikan kandang ayam yang belakangan ditempati Asep bersama istri dan delapan anaknya, segera terwujud.

Kenyataan yang sulit dibayangkan sebelumnya. Sebagai buruh tani di Kampung Selakopi, Desa Babakan Caringin, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Cianjur, penghasilnya hanya cukup untuk makan dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Gubuk reyot yang akhirnya hancur diterjang angin kencang pun tak dapat ia dirikan kembali. Itu mengapa Asep dan keluarganya terpaksa tinggal di kandang ayam, tak jauh dari sawah garapannya.
Apa yang dilakukan Letkol Arm Imam Haryadi? Imam tidak menggunakan sihir atau sulap untuk membangunkan rumah Asep, melainkan ia memanfaatkan kekuasaan dan amanah yang dimilikinya. Sebagai anggota tentara yang mengepalai Distrik Militer Cianjur, mudah baginya mengerahkan kolega dan anak buahnya, untuk melakukan banyak hal, termasuk gotong royong membangun rumah untuk Asep. Pasukan tentara sudah siap diterjunkan untuk turut membangun rumah. Imam memastikan rumah layak untuk Asep akan berdiri dalam waktu 14 hari.
Kata-kata dan perintahnya bak "jimat" yang dapat menembus tembok tebal birokrasi dan rasa empati yang tak tersalurkan. Hanya dengan bicara, Haji Rasimin, majikan Asep, pun merelakan tanahnya dipakai mendirikan bangunan. Obrolan yang selama ini mungkin tak dilakukan. Buktinya, Camat Karangtengah, yang membawahi Desa Babakan Caringin, tempat Asep sekeluarga tinggal, sampai kemarin mengaku tidak tahu ada warga yang hidup di kandang ayam.
Belakangan Pemerintah Kabupaten Cianjur bertindak. Tapi langkahnya kalah cepat. Meski menjanjikan akan memberikan bantuan material untuk membangun rumah Asep, pencairannya memerlukan waktu lama karena harus menunggu laporan berjenjang dari RT, RW, desa, kecamatan, baru setelah itu diusulkan kepada Bupati.
Tentara atau sipil yang memiliki jabatan atau kekuasaan berkewajiban menggunakan amanah sebaik-sebaiknya sehingga memiliki manfaat besar untuk kemaslahatan manusia. Bukan sesuatu yang sulit bagi mereka untuk mengerahkan massa dan anggaran untuk membantu rakyat yang kesulitan. Jika anggaran tak tersedia di kas daerah, mereka bisa mengajak kolega atau perusahaan untuk terlibat menyelesaikan masalah warga.
Di Cianjur, warga yang bernasib seperti Asep atau bahkan lebih miskin, masih banyak. Data dari Badan Pusat Statistik Cianjurmenyebutkan tahun 2014, warga miskin di Cianjur, berjumlah 259.547 orang dari total penduduk sebanyak 2,2 juta jiwa.
Pemerintah bisa saja mengkalim angka kemiskinanya turun dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, kondisi ekonomi yang labil mengakibatkan banyak orang kehilangan pekerjaan. Ditambah banyaknya alih fungsi lahan, para petani pun kehilangan pendapatan.
Gotong royong adalah solusinya. Namun, kebersamaan ini mulai tergerus oleh budaya kota. Maka perlu ada usaha dari pemerintah atau orang-orang yang berpengaruh untuk menggerakan massa, melakukan sesuatu yang positif dan produktif. Seperti halnya yang dilakukan Letkol Arm Imam Haryadi. Jika Bupati, Camat, Lurah,Dandim, Danramail, Kapolres, Kapolsek, melakukan itu, maka kekuasaan yang mereka miliki menjadi kekuasaan yang menolong. Kaum papa pun menjadi merasa memiliki "ayah" yang akan membantu menyelesaikan kesulitannya. (*)
Sorot, Bandung, Sabtu, 14 November 2015