Wednesday, March 26, 2014

Kaki Buntung Palsu

Kisdiantoro

APA yang akan kita lakukan jika satu atau sepasang kaki yang kita miliki terluka atau terserang penyakit? Sebagai manusia normal dengan otak yang waras, tentu kita akan mengobatainya. Segala upaya akan kita lakukan, bahkan jika memungkinkan akan mencari pengobatan hingga ke luar negeri. Tujuannya, selain mendapatkan kesembuahan, kita menginginkan kondisi kaki akan pulih sempurna, tanpa cacat. Itulah upaya kita menjaga pemberian Tuhan yang kenikmatannya tak ternilai dengan uang. Bahkan uang para koruptor Indonesia jika dikumpulkan hingga berjumlah triliunan rupiah pun tak akan sebanding dengan fungsi sepasang kaki yang kita miliki.

Kita pasti masih ingat kecelakaan mobil yang menimpa anak ketiga musisi Ahmad Dhani, Ahmad Abdul Qodir Jaelani alias Dul, yang menewaskan enam orang. Dia sendiri mengalami patah kaki sebelah kanan. Apa yang dilakukan Dhani? Ia langsung membawa anak bungsunya ke RS Pondok Indah, Jaksel, untuk mendapatkan perawatan. Bahkan pada kesempatan berikutnya, ia merencanakan mencari pengobatan di Singapura agar kaki Dul segera pulih. Biayanya pasti akan mahal. Tapi Dhani akan melakukan itu demi kembalinya kaki Dul seperti ketika Tuhan menciptakannya.

Akhir pekan lalu, di Tangerang ada Asman (40), yang tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya ketika mendapatkan bantuan kaki palsu. Lanju kereta api telah menggilas kakinya dan mengakibakan ia cacat. Harga kaki palsu kisaran Rp 9 juta hingga Rp 15 juta. Harga yang mahal bagi masyarakat miskin. Meski telah mendapatkan kaki palsu, tetap saja tidak sebagus kaki pemberian Tuhan.


Anehnya, di Kota Bandung dan mungkin juga tempat lain, ada sebagin orang yang meledek kebesaran Tuhan dengan membuat kaki yang sempurna itu menjadi seolah cacat dan buntung. Mereka melakukan itu untuk mendapatkan belas kasihan orang-orang yang melintas di jalanan. Orang akan merasa iba dan menjatuhan keping atau lembaran uang. Usia para pengemis itu umumnya masih muda dengan tenaga yang kuat.

Buktinya, ketika Wali Kota Bandung Ridwan Kamil hendak bertanya penyebab kaki menjadi buntung, pengemis itu lari sekuat tenaga menghindari razia. Ridwan menjumpainya di lampu merah di perempatan Cibaduyut.

"Selama ini kakinya hanya dilipat tidak cacat. Bahkan saat akan dibawa, dia lari kencang hingga tak terkejar," ujar Emil di sela acara kunjungan ke Jalan Leuwipanjang, Selasa (3/12/2013). Usia orang itu sekitar 20 tahunan.

Menjadi pengemis memang tidak berdosa, tapi termasuk kelompok perkerjaan hina. Bahkan dalam agama Islam, Rasul Muhammad menggambarkan pengemis adalah manusia yang tak memiliki sekerat daging pun di wajahnya ketika menghadap Tuhan pada hari kiamat karena pekerjaannya yang mengemis kepada manusia (HR. Bukhari dan Muslim). Muhammad juga mengatakan, sesorang yang mengikat kayu bakar di punggungnya, lalu menjualnya, itu lebih baik daripada mengemis. Artinya, kita diajarkan untuk produktif dengan kondisi fisik sempurna maupun cacat.

Berpura-pura buntung berarti mengingkari karunia Tuhan. Tuhan bisa saja mengabulkan keinginan mereka memiliki kaki buntung. Cara mereka ngesot dengan kaki dilipat di sela para pengendara sepeda motor dan mobil, sangat rentan mengalami kecelakaan, semisal terlindas ban kedaraan. Jika itu terjadi, kepura-puraan itu akan menjadi nyata. Penyesalan pun menjadi tidak bermakna.

Menghapus mereka dari jalanan memang tidak mudah. Upaya Wali Kota yang hendak menciptakan Bandung bersih dari pengemis perlu dukungan masyarakat. Caranya? Mengikuti imbauan pemerintah untuk tidak bersedekah di jalanan. Pemerintah perlu segera merampungkan rencana pembangunan Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskesos) agar mereka bisa segera tertangani dengan pemberian pelatihan setelah tertangkap razia. Setelah diwisuda, mereka memiliki mental yang baik untuk meninggalkan profesinya sebagai pengemis, termasuk insyaf menipu masyarakat dengan berpura-pura kakinya buntung. Semoga kita termasuk orang-orang yang bersyukur. (*)


Bandung, 4 Desember 2013

Denda atau Penjara!

* Pilihan untuk Pembuang Sampah Sembarangan
Oleh Kisdiantoro

DUA KANTONG sampah ramah lingkungan yang menggantung pada sebilah besi yang ditanam ke tanah sudah merata di semua wilayah Kota Bandung, tentu saja termasuk wilayah di dekat rumah Anda. Hanya saja, ada warga yang memanfaatkannya dengan cara yang salah. Mereka tidak lagi melihat petunjuk di kantong plastik untuk membedakan jenis sampahnya, organik dan nonorganik. Jika satu kantong sudah penuh, masyarakat tidak cepat menggantinya, tapi malah mengisi kantong yang lain dengan jenis sampah tidak dipilah, akhirnya sampah pun bercampur, organik dan nonorganik jadi satu.

Wali Kota Bandung Ridwan Kamil meluncurkan proyek kantong sampah ramah lingkungan ini untuk memudahkan warga membuang sampah. Lalu, kebiasaan membuang sampah di sembarang tempat tidak lagi dilakukan. Tentu dengan tetap didukung dengan pengelolaan sampah yang lain, baik komposting, maupun cara biasa, ada petugas sampah yang mengangkut di titik-titik pembungan sampah yang legal.

Program Emil, demikian Wali Kota Bandung biasa disapa, rupanya belum sepenuhnya diterima warganya. Di beberapa badan jalan di Kota Bandung banyak ditemui tumpukan sampah. Contohnya di seperti terlihat di Jalan Ahmad Yani (Tribun Jabar, Jumat (31/1)). Kebiasaan buruk masyarakat ini sangat mudah menular ke kelompok masyarakat yang lain. Semisal, di tempat lain ada satu atau dua orang yang membuang sampah di tepi jalan, maka tak berselang lama akan dikuti oleh orang lain. Menggununglah sampah di tepi jalan.

Melihat pemandangan tak sedap, Emil kemudian meminta PD Kebersihan mengangkut sampah hingga bersih. Tapi, cara ini hanya menyelesaikan sementara jika tidak dibarengi dengan kesadaran masyarakat soal kebersihan lingkungan. Mengandalkan kampanye dan sosialisasi hidup sehat ternyata belum efektif. Buktinya, Direktur PD Kebersihan Kota Bandung Cece Iskandar mengeluhkannya. Dia mengatakan sudah sering melakukan sosialisasi hidup bersih dan dampak buruk membuang sampah sembarangan, tapi tidak digubris.
 
Untuk mereka yang bandel dan menutup telinga imbauan tidak mengotori Bandung, Emil bisa menggunakan Peraturan Daearah (Perda) Kota Bandung No 11 tahun 2005 tentang penyelenggaraan ketertiban, kebersihan, dan keindahan (K3). Sanksi tegas sebagimana diterapkan untuk para PKL dan pembelinya yang didenda maksimal Rp 1 juta, bakal bikin masyarakat mikir berulang-ulang untuk melanggar.

Demikian dengan masalah sampah. Dalam Perda K3, juga ada pasal yang mengatur soal sampah. Disebutkan, orang yang membuang sampah sembarangan, tidak pada tempatnya, akan didenda Rp 250 ribu atau penjara tiga bulan. Masa sosialisasi seharusnya sudah sangat cukup karena usia Perda K3 itu sudah 8 tahun. Jika memang dinilai belum efektif dalam sosialisasi, Emil bisa kembali mengaktualkan. Sama seperti tindakan tegas untuk PKL dan pembelinya, Emil bisa memasang baliho berukuran besar di sejumlah titik yang terbaca oleh masyarakat bahwa membuang sampah sembarangan akan didenda atau dipenjara. Upaya ini mungkin akan menuai banyak kirtik, terutama mereka yang ingin melanggengkan sampah di jalanan. Tapi, pemerintah tetap harus tegas. Denda Rp 250 terlalu ringan? Pemerintah bisa mengajukan revisi Perda K3 dan menaikan denda, semisal Rp 5 juta.

Upaya untuk mendukung Perda K3, relawan yang selama ini membantu Emil, bisa digerakkan untuk melakukan sosialisasi. Satpol PP sebagai penegak Perda, bisa langsung turun ke jalanan, mengamati, menangkap, dan mencatat setiap orang yang membuang sampah sembarangan dan mengotori Kota Bandung. Jika ini dilakukan, Kota Bandung akan memiliki wibawa dan ditaati setiap program yang digulirkan. Masyarakat perlu didik untuk disiplin, tatat peraturan, dan mengharagai orang lain. Tindakan tegas dan teladan pemimpin perlahan akan menyadarkan masyarakat bahwa untuk lingkungan yang sehat perlu keterlibatan masyarakat. (*)

Bandung, 31 Januari 2014