Saturday, November 3, 2007

Mudik ke Pulau Penjara

Lebaran di Nusakambangn-1

"Kamu jadi ambil cuti?"
"Jadi"
"Berapa lama?"
"Seminggu"
"Oh ya sekalian ajah neh, mumpung inget. Besok itu, lebaran terakhirnya Amrozi, Muchlas sama Imam Samudra. Dan kira-kira mereka diperbolehkan ikut Shalat Ied di luar."

Naluriku langsung jalan ke otak. Aku tahu apa yang dimaksud teman kerjaku. Dia menceritakan tokoh-tokoh peledakan "Bali Bomb" bukan tanpa alasan. Aku memang berniat ingin pulang kampung, merayakan lebaran bersama keluargaku. Emak, bapak, kakak, dua adeku, dan keluargaku yang lain sudah menungguku. Dua hari sebelum perayaan lebaran, mereka sudah menelponku. Menanyakan kapan aku akan pulang.
Rumahku ada di Banyumas. Wilayah kabupaten yang berbatasan dengan Kabupaten Cialacap. Kira-kira satu setengah jam untuk sampai ke sana, dari rumahku. Menuju Nusakambangan, tempat para pelaku Bali Bomb memulihkan akal sehatnya, membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Karena harus menumpang kapal Very menyeberangi Segara Anakan dan menempuh perjalanan darat menuju LP Batu. Jadi, rumahku lebih dekat dengan Nusakambangan dibandingkan harus mengutus wartawan dari Bandung menuju Nusakambangan.

"Terus kenapa?"
"Ya sekalian ajah liputan ke Nusakambangan."
"Nanti urusan DLK belakangan, waktunya mepet."
"Okay, terus surat ijin dari masuknya?"
"Nanti dibikinin dari kantor, kalau yang dari Kanwil Ham kayaknya dah nggak cukup waktu."
"Yo wis nanti tak coba, nebeng sama teman ku di Banyumas."

Nggak salah. Kalau tadi aku menebak, lebaranku bakal di Nusakambangan bareng orang-orang yang sedang menjalani pembinaan temasuk tiga pelaku bom Bali. Aku balik mengulang masa lebaranku di Nusakambangan pada tahun 2005 lalu. Waktu itu aku diminta kantorku melihat dari dekat aktivitas putra mahkota Kerajaan Cendana, Tomy Soeharto Mandala Putra. Lebaran 2007 ini sudah bisa kebayang. Nanti, aku akan berada di dalam LP Batu bersama para narapidana hingga menjelang sore. Pulang ke rumah, hanya tersisa sedikit riuh renyahnya lebaran di kampungku.

Liputan ke Nusakambangan tahun ini aku kira bakal lebih sulit dibandingkan tahun-tahun sebelunya. Kenapa? Karena LP Batu ditempati tiga napi yang paling dijaga di negeri ini. Amrozi, Muchlas dan Imam Samudra. Ketiganya merasa yakin bakal masuk surga, meskipun harus menjalani hukuman mati, karena telah berjihad menyelamatkan saudara-saudara seimannya dari ancaman bangsa Barat yang menurut mereka sangat biadab. Teman aku di Banyumas juga menceritakan kalau Nusakambangan saat ini jauh lebih ketat, belum lagi karena sekarang ini SMS (Super Maximum Scurity) sudah diberlakukan di sana.

"Yo wis nanti aku berusaha dulu."
"Kalau nggak bisa masuk ya... merekonstruksi dari cerita teman."
"Okay." (wah mumet iki, gak ada surat, DLK dibayar belakangan...wow, tapi sudahlah, biar aku coba saja)

Dua hari sebelum lebaran, yang akan dirayakan oleh orang-orang kampungku pada Sabtu 13 Oktober 2007 (Bukan hari Jumat). Aku sampai di Purwokerto sekitar pukul 8.00, setelah menempuh perjalanan sekitar 7 jam lebih. Badanku terasa sangat letih dan mengantuk. Semalaman aku tak bisa tidur. Kursiku sangat sempit. Di sampingku ada orang Kopo (nama sebuah kota di Kabupaten Bandung) yang juga akan mudik. Barang-barangnya lumayan banyak, hingga kakiku pegal karena tak bisa "selonjor." Belum lagi, penumpang di seberang kursiku mendengkur panjang. Lengkap sudah penderitanku ini.

Aku beristirahat sebenar, sembari menunggu adeku menjemput. 15 menit berlalu aku belum melihat adeku datang. Aku sangat kesal. Aku sudah sangat ingin tidur, mataku sulit berkompromi. Ngantuk berat. Seolah batu segede bola sepak menggantung di kelopak atas mataku. Lama menunggu, eh..ternyata bapaku yang datang menjemput. Sambil menahan kantuk, aku menjatuhkan pantatku di busa sepeda motor ayahku. Akhirnya sampai juga di rumah. Aku merobohkan tubuhku ke kasur. Tapi tak nyenyak. Cape. Kepalaku terus mikir "Gimana caranya bisa sampai ke Nusakambangan tanpa dibekali surat ijin dari Kanwil HAM. Lelah (baca=cape) dech!
***
bersambung............

Mencintai Itu Keputusan


Jujur, aku setuju dengan catatan Anis Matta dalam sebuah milis Jurnaliseme yang aku baca,
dia bilang "Cinta itu Keputusan." Dia menguraikan cinta sebagai kata lain dari memberi.
Setuju, karena menurutku, dalam konteks kalimat, memberi adalah kata kerja yang menjelaskan subjek kalimat dalam
keadaan aktif karena melakukan sesuatu. Jadi cinta yang artinya sama dengan memberi adalah
sebuah pekerjaan. Pekerjaan cinta dalam siklus memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan
melindungi cukup berat. Karena pekerjaan itu cukup berat, maka memerlukan kekuatan untuk
melakukannya. Betapa tidak, pekerjaan memperhatikan membutuhkan komitmen karena pekerjaan itu akan berlangsung lama. Bukan tidak mungkin godaan yang merusak konsentrasi melakukan pekerjaan "memperhatikan" akan terganggu. Cinta yang mestinya mendapat perhatian akan terabaikan.

Pekerjaan lain dalam siklus Cinta adalah menumbuhkan dan merawat. Menumbuhkan atinya menjadikan "Cinta" yang semula kecil menjadi besar. Agar Cinta bisa bertahan hingga menjadi besar dan tak layu, butuh upaya lain yang kita sebut merawat. Ini juga pekerjaan yang tak mudah. Begitu godaan datang dan kondisi si perawat tak sehat maka cinta pun akan layu. Kasihan bukan? Pekerjaan yang juga menjadi penting dalam siklus cinta adalah melindungi. Karena sebuah perlindungan, maka cinta akan merasa aman dan nyaman. Untuk perkerjaan ini, dibutuhkan orang-orang yang kuat. Bila tidak, maka dengan mudah ancaman yang akan menyakiti cinta dan akhirnya tak kuat bertahan akan datang.
Maka setiap orang hendaklah berhati-hati saat ia mengatakan, "Aku mencintaimu" . Kepada siapapun! Sebab itu adalah keputusan besar. Ada taruhan kepribadian disitu.Aku mencintaimu, adalah ungkapan lain dari Aku ingin memberimu sesuatu.Yang terakhir ini juga adalah ungkapan lain dari, "Aku akan memperhatikan dirimu dan semua situasimu untuk mengetahui apa yang kamu butuhkan untuk tumbuh menjadi lebih baik dan bahagia...""aku akan bekerja keras untuk memfasilitasi dirimu agar bisa tumbuh semaksimal mungkin...""aku akan merawat dengan segenap kasih sayangku proses pertumbuhan dirimu melalui kebajikan harian yang akan kulakukan padamu ...""aku juga akan melindungi dirimu dari segala sesuatu yang dapat merusak dirimu...."Dan proses pertumbuhan itu taruhannya adalah kepercayaan orang yang kita cintai terhadapintegritas kepribadian kita. Sekali kamu mengatakan kepada seseorang, "Aku mencintaimu" , kamu harus membuktikan ucapan itu.

Itu deklarasi jiwa bukan saja tentang rasa suka dan ketertarikan, tapi terutama tentang kesiapan dan kemampuan memberi, kesiapan dan kemampuan berkorban, kesiapan dan kemampuan pekerjaan-pekerjaan cinta : memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi.Sekali deklarasi cinta tidak terbukti, kepercayaan hilang lenyap.Tidak ada cinta tanpa kepercayaan. Begitulah bersama waktu suami atau istri kehilangan kepercayaan kepada pasangannya. Atau anak kehilangan kepercayaan kepada orang tuanya. Atau sahabatkehilangan kepercayaan kepada kawannya. Atau rakyat kehilangan kepercayaan kepada pemimpinnya.
Lalu? Bertanggungjawablah dengan pernyataan "Aku mencintaimu." Dengan begitu, kepercayaan tak akan hilang.


Bandung, 3 November 2007

Thursday, November 1, 2007

Aku Tahu Bapaku Mencintaiku



Aku suka sakit hati dengan perlakukan bapaku. Dia suka memaksakan kehendaknya, marah kalau aku bandel atau tak mau sekolah, tak memberiku uang saku lebih padahal teman-teman aku bawa banyak uang. Mereka memakai sepatu bagus, tas bagus dan sepeda yang bagus. Sementara, aku hanya diberi uang saku saat aku akan menghadapi pelajaran Olahraga. Itu juga hanya cukup buat beli "mendoan" dan satu es mambo. Aku iri pada teman-temanku.Sekolahku sangat jauh. Kira-kira 3 kilometer dari rumah. Tak ada kendaraan di rumah, hanya ada sepeda ontel yang dipakai kakaku. Aku pun harus berjalan kaki untuk sampai ke sekolahku, SMPN 1 Kembaran. Sekolah di kampung yang halamannya sangat luas. Kira-kira 5 kali luas sekolah di kota. Kadang aku menggerutu, mengapa ayahku tak bisa memenuhi keinginanku seperti yang didapatkan teman-temanku yang lain.

Kakaku saat itu juga bersekolah. Dia masuk SMP swasta di kota. Bayarannya lebih mahal dari sekolahku. Itu yang membuat ayahku sering kebingungan. Pinjam utangan buat bayar SPP kakaku. Aku sering mengalah. SPP ku kadang nunggak sampai 3 atau 4 bulan baru dibayar. Aku dan bapaku bingung saat menjelang ujian semester. Kalau tak bisa bayar karena belum ada uang, bapaku akan datang ke sekolah meminta kepala sekolah memberikan kelonggaran waktu. Sementara adeku dua orang. Mereka juga bersekolah. Kedunya di SD. Saat itu pastilah bapaku begitu berat memikirkan biaya sekolah.Aku sering bertanya kepada Tuhanku. Mengapa Engkau melahirkan aku dari keluarga yang miskin. Aku masih anak-anak. Aku ingin seperti teman-teman yang lain. Tapi tak semuanya sesuai dengan harapan. Ayahku lebih banyak mengacuhkannya. Dia melakukan hal-hal yang prioritas ketimbangan menghamburkan uang dengan sedikit manfaat.

Aku saat itu sangat ingin punya sepeda. Tapi ayahku belum bisa memenuhi keinginanku. Dan aku pun masih harus berjalan kaki, menyusuri jalan beraspal, atau terkadang menapaki pematang sawah. Itu aku lakukan hingga aku masuk kelas tiga. Aku baru punya sepeda setelah aku di sunat. Uwa, paman dan ayah teman-teman kampungku memebriku banyak uang. Lalu aku belikan buat speda BMX. Aku sangat gembira. Aku tak jalan kaki lagi. Kegiatan-kegiatan sore hari di sekolah bisa aku ikuti. Saat aku masuk SMA di kota, kondisi kelurgamu belum banyak berubah. Untungnya, ibuku tak pernah malu belajar berjualan di pasar kecamatan. Karena semangatnya, dia bisa memiliki lapak, meski kecil. Aku senang dan bangga dilahirkan dari rahim ibuku yang begitu baik.

Selepas SMK, aku masih sangat ingin belajar, melanjutkan kuliah. Kebetulan, guru BP-ku mengajukan aku untuk dapat PMDK di IKIP Semarang. Tapi semua itu tak aku lanjutkan. Ayahku tak sanggup lagi membiayaiku sekolah. Pilihan terkahir adalah bekerja. Pilihan itu pun tak mudah. Negeriku sedang mengalami krisis. Banyak PHK dimana-mana. Beruntung aku bertemu dengan seseorang yang baik hati. Dia mengajariku bekerja. dan sampai akhirnya aku benar-benar bisa bekerja. Aku ingat mimpiku dulu. Ingin melanjutkan kuliah. Dan aku mencoba menapakan mimpi itu ke tanah. Alhamdulillah seiring bejalannya waktu, aku bisa menyelesaikan kuliahku. Ayah dan ibuku sangat senang. Dia datang ke kampusku saat aku diwisuda.Aku terus brfikir tentang masa laluku, ayahku dan ibuku.

Dan akhirnya aku mengerti. Ketidak sukaanku terhadap keputusan-keputusan ayahku, salah. Aku sangat yakin, waktu itu mereka tak bisa memenuhi semua keinginanku karena mereka sangat sayang dengan anak-anaknya. Membagi rezeki yang mereka peroleh agar semuanya tercukupi.Aku mengerti, bapaku memukulku saat aku tak mau berangkat sekolah, itu karena dia sanyang kepadaku. Dia ingin aku menjadi pintar. Pintar yang tak "keblingar." Pintar yang tak sombong. Pintar yang tak lupa sopan santun. Aku mengerti, ayahku tak membelikanku sepeda karena dia ingin biaya SPP ku terbayar. Dan karenanya aku bisa tetap sekolah. Berjalan kaki ke sekolah, karena ayahku ingin aku menjadi laki-laki yang kuat.

Bapaku kini tak sekuat dulu. Kerutan di wajahnya mulai tampak. Kesehatnnya pun mulai berkurang. Tapi yang aku rasakan, dia kini menjadi sangat bijaksana. Di tak lagi memaksakan kehendaknya. Dia tahu, anaknya kini sudah besar. Dia percaya, anaknya mampu membedakan yang baik dan buruk. 'Emaku pun tak lagi harus menangis gara-gara aku melawan bapaku. Dia yakin, anaknya akan menghormati bapaknya. Semoga aku bisa berbuat seperti apa yang mereka harapkan. Aku senang karena bapaku dan emaku telah mengajariku untuk selalu berbuat baik, menghormati sesama. Aku sekarang tahu, bapaku, ibuku, sangat sayang kepadaku. Thanks for all.

Bandung, 4 Oktober 200723.27'15"