Thursday, November 1, 2007

Aku Tahu Bapaku Mencintaiku



Aku suka sakit hati dengan perlakukan bapaku. Dia suka memaksakan kehendaknya, marah kalau aku bandel atau tak mau sekolah, tak memberiku uang saku lebih padahal teman-teman aku bawa banyak uang. Mereka memakai sepatu bagus, tas bagus dan sepeda yang bagus. Sementara, aku hanya diberi uang saku saat aku akan menghadapi pelajaran Olahraga. Itu juga hanya cukup buat beli "mendoan" dan satu es mambo. Aku iri pada teman-temanku.Sekolahku sangat jauh. Kira-kira 3 kilometer dari rumah. Tak ada kendaraan di rumah, hanya ada sepeda ontel yang dipakai kakaku. Aku pun harus berjalan kaki untuk sampai ke sekolahku, SMPN 1 Kembaran. Sekolah di kampung yang halamannya sangat luas. Kira-kira 5 kali luas sekolah di kota. Kadang aku menggerutu, mengapa ayahku tak bisa memenuhi keinginanku seperti yang didapatkan teman-temanku yang lain.

Kakaku saat itu juga bersekolah. Dia masuk SMP swasta di kota. Bayarannya lebih mahal dari sekolahku. Itu yang membuat ayahku sering kebingungan. Pinjam utangan buat bayar SPP kakaku. Aku sering mengalah. SPP ku kadang nunggak sampai 3 atau 4 bulan baru dibayar. Aku dan bapaku bingung saat menjelang ujian semester. Kalau tak bisa bayar karena belum ada uang, bapaku akan datang ke sekolah meminta kepala sekolah memberikan kelonggaran waktu. Sementara adeku dua orang. Mereka juga bersekolah. Kedunya di SD. Saat itu pastilah bapaku begitu berat memikirkan biaya sekolah.Aku sering bertanya kepada Tuhanku. Mengapa Engkau melahirkan aku dari keluarga yang miskin. Aku masih anak-anak. Aku ingin seperti teman-teman yang lain. Tapi tak semuanya sesuai dengan harapan. Ayahku lebih banyak mengacuhkannya. Dia melakukan hal-hal yang prioritas ketimbangan menghamburkan uang dengan sedikit manfaat.

Aku saat itu sangat ingin punya sepeda. Tapi ayahku belum bisa memenuhi keinginanku. Dan aku pun masih harus berjalan kaki, menyusuri jalan beraspal, atau terkadang menapaki pematang sawah. Itu aku lakukan hingga aku masuk kelas tiga. Aku baru punya sepeda setelah aku di sunat. Uwa, paman dan ayah teman-teman kampungku memebriku banyak uang. Lalu aku belikan buat speda BMX. Aku sangat gembira. Aku tak jalan kaki lagi. Kegiatan-kegiatan sore hari di sekolah bisa aku ikuti. Saat aku masuk SMA di kota, kondisi kelurgamu belum banyak berubah. Untungnya, ibuku tak pernah malu belajar berjualan di pasar kecamatan. Karena semangatnya, dia bisa memiliki lapak, meski kecil. Aku senang dan bangga dilahirkan dari rahim ibuku yang begitu baik.

Selepas SMK, aku masih sangat ingin belajar, melanjutkan kuliah. Kebetulan, guru BP-ku mengajukan aku untuk dapat PMDK di IKIP Semarang. Tapi semua itu tak aku lanjutkan. Ayahku tak sanggup lagi membiayaiku sekolah. Pilihan terkahir adalah bekerja. Pilihan itu pun tak mudah. Negeriku sedang mengalami krisis. Banyak PHK dimana-mana. Beruntung aku bertemu dengan seseorang yang baik hati. Dia mengajariku bekerja. dan sampai akhirnya aku benar-benar bisa bekerja. Aku ingat mimpiku dulu. Ingin melanjutkan kuliah. Dan aku mencoba menapakan mimpi itu ke tanah. Alhamdulillah seiring bejalannya waktu, aku bisa menyelesaikan kuliahku. Ayah dan ibuku sangat senang. Dia datang ke kampusku saat aku diwisuda.Aku terus brfikir tentang masa laluku, ayahku dan ibuku.

Dan akhirnya aku mengerti. Ketidak sukaanku terhadap keputusan-keputusan ayahku, salah. Aku sangat yakin, waktu itu mereka tak bisa memenuhi semua keinginanku karena mereka sangat sayang dengan anak-anaknya. Membagi rezeki yang mereka peroleh agar semuanya tercukupi.Aku mengerti, bapaku memukulku saat aku tak mau berangkat sekolah, itu karena dia sanyang kepadaku. Dia ingin aku menjadi pintar. Pintar yang tak "keblingar." Pintar yang tak sombong. Pintar yang tak lupa sopan santun. Aku mengerti, ayahku tak membelikanku sepeda karena dia ingin biaya SPP ku terbayar. Dan karenanya aku bisa tetap sekolah. Berjalan kaki ke sekolah, karena ayahku ingin aku menjadi laki-laki yang kuat.

Bapaku kini tak sekuat dulu. Kerutan di wajahnya mulai tampak. Kesehatnnya pun mulai berkurang. Tapi yang aku rasakan, dia kini menjadi sangat bijaksana. Di tak lagi memaksakan kehendaknya. Dia tahu, anaknya kini sudah besar. Dia percaya, anaknya mampu membedakan yang baik dan buruk. 'Emaku pun tak lagi harus menangis gara-gara aku melawan bapaku. Dia yakin, anaknya akan menghormati bapaknya. Semoga aku bisa berbuat seperti apa yang mereka harapkan. Aku senang karena bapaku dan emaku telah mengajariku untuk selalu berbuat baik, menghormati sesama. Aku sekarang tahu, bapaku, ibuku, sangat sayang kepadaku. Thanks for all.

Bandung, 4 Oktober 200723.27'15"

No comments: