Wednesday, October 21, 2009

Taksi Stop


Satu Shelter Tiap 200 Meter

Kemacetan di kawasan Bukit Damansara, pinggiran Kota Kuala Lumpur, baru saja dimulai. Deretan panjang kendaraan roda empat itu terjadi sekitar pukul 17.00 waktu setempat. Saya dan beberapa kawan dari Indonesia mulai cemas. Kami akan mengurungkan niat pergi ke Bangsar Village, sebuah kawasan pertokoan dan restoran di Kuala Lumpur, jika kemacetan menjadi-jadi.

“Jangan-jangan sama seperti di Jakarta atau Bandung, kalau macet bisa berjam-jam,” kata Indah Dian Novita (25), asal Jakarta.

Kami menunggu beberapa saat, berharap kemacetan segera mencair. Ahhh, lega. Ternyata, kemacetan hanya terjadi sesaat. Tak lebih dari 30 menit.

Kami mulai mencari transpotrasi umum yang melaju ke Bangsar Village. Gaz Gazali (31), pria asal Malaysia bagian Serawak menyarankan kami untuk naik taksi. Di kawasan Bukit Damansara, taksi menjadi transportasi umum utama. Sebenarnya ada pilihan lain, Rapid KL (semacam bus kota atau Trans Metro Bandung di Kota Bandung). Tapi di kawasan tempat kami menginap, Rapid KL tidak banyak. Alasannya, mungkin karena hampir semua keluarga di sini memiliki mobil sendiri.

Kami memutuskan menggunakan taksi. Aneh. Semua taksi melaju kencang. Mereka tak berhenti meskipun kami berulang-ulang mengibaskan telapak tangan. Gaz—sapaan akrab Gazali, mulai mentertawakan cara kami menghentikan taksi.

”Taksi tak akan berhenti, kecuali di taksi stop (halte/shelter),” kata Gaz.

Saya dan Dian pun tertawa. Kami tidak sadar, bumi yang kami pijak bukanlah Bandung. Bukan pula Jakarta. Gaz mengajak kami berjalan menyusuri tepian Jalan Semantan. Tidak jauh. Mungkin sekitar 50 meter dari tempat semula, kami menemukan sebuah shelter taksi. Tempat yang amat jarang di temukan di Kota Bandung.

Orang Malaysia menyebutnya Teksi Stop (pemberhentian taksi). Tempatnya luas. Panjangnya kira-kira 6 meter. Di sana ada tempat duduk berupa pipa besi dilapisi cat anti karat yang ditanam ke tanah. Di depannya, ada pipa besi berukuran serupa sebagai pengaman atau tempat menyandarakan tangan saat seseorang berdiri menunggu kedatangan taksi. Penunggu taksi juga tak akan kehujanan jika musim hujan mulai tiba. Atap dari plat cukup nyaman untuk berteduh.

Meskipun ada shelter taksi, kendaraan yang melaju di depannya tidak ada terganggu. Apalagi sampai menimbulkan kemacetan besar seperti yang sering terlihat di Jalan Soekarno-Hatta, Jalan Dago, Jalan Merdeka dan sejumlah jalan lain di Kota Bandung. Shelter taksi di sini didisain berbeda dengan shelter-shelter di Kota Bandung. Jarak antara shelter dan badan diberi jarak beberapa meter untuk parkir taksi. Dengan demikian ketika taksi berhenti posisinya tidak di badan jalan, melainkan berada di area khusus yang diberi tanda ”Taksi Stop.”

Selain tong sampah dan telepon koin, saya tidak menemukan perabot lain yang menjadikan shelter nampak kumuh. Kalau di Bandung, tempat sebagus itu pasti digunakan untuk berdagang, kalau bukan koran mungkin vouher handphone. Atau, makanan ringan. Kalau ingin bukti, cobalah tengok beberapa shelter angkutan kota di dekat terminal bus Leuwipanjang atau di Jalan Dago.

Dua buah taksi menghampiri kami. Beberapa saat kemudian taksi melaju dan sampailah di Bangsar Village. Di sepanjang jalan, saya menemukan banyak shelter taksi dan Rapid KL. Saya penasaran, tiap berapa meter masyarakat Malaysia dapat menemukan taksi atau bus stop.

”Mereka sangat mudah menemukannya, kira-kira tiap 200 meter ada satu taksi atau bus stop, bahkan ada yang sangat dekat,” jawab Gaz.

Kemudahaan yang disediakan oleh Dewan Bandaraya Kula Lumpur (pemerintah kota) dengan menyediakan fasilitas pemberhentian transportasi umum menjadikan mayarakat tertib. Mereka tidak menunggu taksi atau bus di sembarang jalan. Mereka juga tidak membuang sampah sembarangan karena di sekitar shelter dilengkapi dengan tong sampah. Prilaku tertib juga mulai dilakukan oleh para sopir taksi. Mereka akan membiarkan orang-orang yang menunggu taksi di luar pemberhentian taksi.
Yang juga menarik, semua fasilitas itu terpelihara dengan baik.

”Pemerintah sudah memberikan kemudahan, kalau dirusak akan menyulitkan mereka sendiri,” tambah Gaz.

Di kesempatan lain, saya bersama beberapa kawan dari Indonesia mecoba menaiki transportasi umum Rapid KL. Kami melakukan itu sepulang kongkow di kawasan Cina Town di Kuala Lumpur.

Banyak hal yang menarik. Selain tampilan bus-nya bagus, tempat duduknya pun empuk. Semua Rapid KL dilengkapi dengan AC. Penumpang tidak perlu berteriak ”kiri bang” ketika sudah mendekati tujuan. Penumpang cukup memencet tombol yang tersedia di beberapa sudut di dalam bus. Sopir akan mendengar pekikan suara dan menghentikan laju Rapil KL di sebuah pemberhentian bus.

Sepanjang jalan, saya tidak melihat sopir bus menghentikan laju bus-nya di sembarang tempat untuk mengangkut penumpang. Demikian sebaliknya, tak ada penumpang yang meminta berhenti di sembarang tempat. Bagaimana dengan bus kota atau TMB di Kota Bandung? Silahkan anda lihat sendiri. Ketidaktertiban berlalu lintas inilah yang mungkin menjadi penyokong terjadinya kemacetan. Apalagi ukuran bus kota atau TMB jauh lebih besar dibandingkan dengan kendaraan lain.

Jumaahtul Abdul Gani (31), seorang kawan tinggal di Selangor, sekitar 20 kilometer dari KL, menambahkan banyak informasi tentang transportasi umum. Katanya, ada beberapa jenis transportasi umum, taksi, Rapid KL dan monorel. Ketiganya digunakan sesuai dengan kepentingan masyarakat. Jika ingin murah dan tak diburu pekerjaan, masyarakat lebih suka menggunakan bus.

Seperti yang dikatakan Gaz, di Kuala Lumpur banyak ditemukan pemberhentian bus dan taksi. Terutama berada di tempat-tempat ramai seperti mal, perkantoran dan kawasan perumahan rakyat.

Dari sekian banyak sopir, kata Jum, ada di antaranya yang ugal-ugalan, menyetir dengan kecepatan tinggi. Namun, pada umumnya mereka tetap tidak melayani penumpang di yang menunggu di sembarang temapat.

”Kerajaan berusaha keras melakukan kampanye agar masyarakat mengendarai mobil lebih hati-hati, untuk menghindai kecelakaan. Setiap hari banyak polisi di jalan. Di beberapa tempat ada menara yang digunakan polisi untuk mengamati jalan. Pelanggar lalu lintas akan diambil gamar, lalu dikirim ke police traffic untuk didenda,” katanya.

Untuk masalah kemacetan, pemerintah kota telah berupaya melakukan kampanye untuk berkongsi mobil. Namun, kampanye itu tidak mendapat respon baik. Bisa dikatakan, setiap orang membawa mobil sendiri untuk melakukan aktivitas bekerja.

Pemerintah tidak berhenti sampai di sana. Cara lain yang dilakukan untuk mengatasi kemacetan adalah memperbaiki fasilitas transportasi publik agar menjadi lebih efisien dan menarik perhatian masyarakat untuk memakai transportasi massa. Semisal dengan menambahkan jaringan kereta api dalam kota menuju ke wilayah-wilayah pinggiran yang sulit dijangkau dengan transportasi umum. (kisdiantoro)

Thursday, October 8, 2009

Hantu Dilema

SELASA (6/11/2009), hari pertama kami, para peserta International Journalism Fellowship (IFJ) 2009 yang diselenggarakan oleh Malaysian Press Institute (MPI), mulai menggali ilmu jurnalistik dari orang-orang yang dalam biografinya berderet pengalaman menakjubkan dalam berbagai peliputan dan pelatihan jurnalistik level internasional.

Tentu kami sangat gembira. Harapan kami, pengetahuan jurnalistik kami semakin luas dan terasah. Pelajaran dari mereka akan sangat berguna bagi profesi kami ketika rutinitas meliput kembali memanggil.

Datuk Ahmad A Talib, Direktur Eksekutif Berita Media Prima, kelompok New Strith Time Press (NSTP), memuali kelas dengan banyak pertanyaan mengapa para peserta International Journalism Fellowship (IFJ) 2009 yang diselenggarakan oleh Malaysian Press Institute (MPI) memilih profesi wartawan. Dia tidak yakin bahwa semua calon wartawan ketika diwawancara untuk pertama kali oleh sebuah perusahaan penerbitan memberikan alasan karena mencintai dunia tulis menulis. Jujur saya juga sependapat. Saya memilih profesi ini, pada awalnya karena alasan kebutuhan. Saya butuh pekerjaan dan butuh penghasilan. Saya butuh makan untuk mempertahankan hidup. Tan Su Lin, pewarta Radio Bernama 24 asal Malaysia pun menjawab dengan jujur. Dia sebenarnya sama sekali tidak memiliki latar belakang seorang jurnalis, karena dia adalah lulusan Jurusan Fisika di sebuah kampus di Malaysia. Tapi, untungnya dia suka dengan tantangan dan petualangan. Profesinya pun bisa dijalani dengan baik.


Rupanya, A Talib hendak menghubungan pertanyaan tersebut dengan kondisi dilema yang akan muncul ketika seorang wartawan menjalani profesinya. Kondisi dilema akan menghadang pada setiap wartawan yang memiliki kredibelitas dan integritas yang baik. Tentu tidak dengan wartawan yang hanya menjalankan perintah, tanpa mencoba membuat analisis kecil terhadap pemberitaan yang dibuat. Meskipun hanya sekali. Kesimpulan yang saya tangkap dari kalimat dan gerak tangannya, A Talib, menilai wartawan dengan tipe tersebut hanya akan menjadi alat kepentingan pihak perusahaan dan pada suatu saat nasibnya bisa mejadi tidak jelas.

“Tiga atau empat tahun, pergi kau!”


Kondisi dilema yang akan menghampiri seorang wartawan bisa jadi berupa permasalahan yang menyangkut dirinya sendiri. Semisal masalah pendapatan yang tidak sesuai dengan beban pekerjaan atau masalah pilihan pekerjaan lain. Apakah seorang wartawan merasa yakin bahwa profesi meliput, mewawancarai nara sumber, memotret lalau merekontruksinya dalam sebuah naskah berita untuk diterbitkan adalah sebuah profesi yang akan dijalani sebagai sandaran hidup? Pertanyaan seperti ini sering berkecamuk dalam diri seorang wartawan.

Namun, kata A Talib, kondisi tersebut adalah wajar. Lebih jauh dari itu, seorang wartawan akan sering dihadapkan pada banyak kondisi dilemma ketika melakukan peliputan di lapangan. Idealisme dan kemampuan analisisnya akan diuji dengan berbagai gempuran kepentingan.


Saya sangat sependapat dengan dia. Sebelum menuliskan sebuah berita, di belakang seorang wartawan ada berdiri banyak pandangan yang kekuataanya cukup besar dan bepengaruh terhadap tulisan seorang wartawan. Pertama, kekuatan pemilik perusahaan. Seorang wartawan harus menyadari bahwa dirinya bekerja pada sebuah perusahaan, apakah perusahaan penerbitan atau perusahaan penyiaran. Dengan demikian dia juga seorang pegawai yang tunduk dengan aturan perusahaan. Artinya, pemilih perusahaan memiliki kuasa atau kekuatan untuk melakukan campur tangan (intervensi) terhadap pekerjaan seorang wartawan. Semisal ketika sebuah pemberitaan yang ditulis seorang wartawan berkaitan dengan kepentingan para kolega pimpinan perusahaan, jika berita tersebut berupa keburukan, maka ada kemungkinan pimpinan perusahaan akan meminta untuk tidak menerbitkan. Jika hal tersebut terjadi, bagaimana anda menghindarkan intervensi pihak perusahaan agar tulisan anda bisa mengalir dan objektif? Ini adalah kondisi dilema bagi wartawan.


Baiklah kawan, kita bahas lebih jauh lagi. Selain bos anda, di belakang anda, masih ada bagian-bagian lain yang memiliki kepentingan besar untuk menopang keberlangsungan perusahaan anda. Misalanya, Departemen Iklan dan Sirkulasi. Dua departemen ini memiliki peran signifikan untuk menghidupi perusahaan yang pada akhirnya berdampak pada tingkat kesejahteraan wartawan.

”Anda akan merasa dilema ketika departemen lain meminta bantuan anda untuk meliput atau meminya untuk tidak menuliskan sesuatu,” katanya.


Ingat! Sebelum kembali ke kantor untuk menuliskan semua cerita yang anda dapat di lapangan, anda telah bertemu dengan begitu banyak orang. Sebut saja jumlah orang yang menggantungkan nasibnya terhadap pemberitaan yang anda tulis sekitar 23.000 jiwa. (Contoh, berita tentang penggusuran jalan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rumah-rumah rakyat tanpa ada kompensasi yang sepadan). Ini juga termasuk kondisi dilema yang akan menghantui seorang wartawan.


Pertanyaannya, jika seorang wartawan dihadapkan pada tiga konsisi dilema itu, seharusnya seorang wartawan berdiri atau memihak pada pilihan yang mana? Anda harus berdiri di belakang siapa? Di belakang kepentingan bos, Departemen Iklan dan Sirkulasi atau 23.000 jiwa yang berteriak meminta pertolongan anda? Etika pribadi atau etika moral akan menjawab, anda harus berdiri dibalik kepentingan masyarakat.


Tentu dalam praktiknya tidak semua kondisi dilema dapat diselesaikan dengan mulus. Maka, seorang wartawan harus memiliki kemampuan untuk menguasai dirinya. Akan jauh lebih baik jika dia juga memiliki kesadaran beragama yang baik. Alasanya saya kira cukup baik. Seorang wartawan memiliki tugas yang berat untuk mengubah kehidupan masyarakat dan mengontrol kebijakan pemerintah agar berjalan di dalam rel-nya.

“Kalau anda tidak bisa mengubah diri anda, apa anda bisa mengubah masyarakat. Jika tidak bisa melakukan, cobalah bepikir ulang untuk melakukan tugas besar mengubah kehidupan masyarakat,” tutur A Talib. ”Jangan menjadi redaktur (editor) kalau anda tidak memiliki semangat yang besar, atau tidak memiliki mental yang baik. Departemen redaksi tidak boleh melakukan kesalahan ataupun berbuat dosa.”


Di akhir diskusi, saya tidak menemukan solusi yang gamblang ketika seorang wartawan dihadapkan pada kondisi dilema. A Talib hanya memberikan gambaran bahwa dalam sebuah usaha pemberitan harus menjaga keseimbangan antara comercial content dengan intelectual content. Maka, seorang wartawan bisa menetukan sikap sendiri kapan dia harus berdiri di balik kepentingan perusahaan atau harus meninggalkannya karena ada banyak orang yang membutuhkan pertolongannya.


Tuesday, 6, 2009

Internation Fellowship Journalism 2009

Malaysian Press Institute