Saturday, December 12, 2015

Festival Antikorupsi dan Pilkada

Oleh Kisdiantoro

PEKAN ini Indonesia menyelenggarakan dua hajat besar, pemilihan kepala daerah (Pilkada) bupati/walikota pada Rabu (9/12) dan gelaran Festival Antikorupsi Bandung 2015 pada Kamis (10/12) yang berpusat di Kota Bandung.

Entah kebetulan atau tidak, dua hajat tersebut berlangsung secara berurutan. Pilkada yang dalam prosesnya telah memakan waktu lama, menyaring sejumlah pasangan secara ketat untuk menjadi bagian dari pesta demokrasi serentak ini. Mulai dari kelengkapan administrasi, seperti keaslian ijazah, kesehatan pasangan, laporan harta kekayaan, jumlah tim sukses, bebas dari konsumsi narkoba,  tidak dalam masa hukuman, dan lain sebagainya. Lalu dilanjutkan penyelenggaraan sosialisai dan kampanye. Tahap akhir, penyelenggaraan pemilihan para kontestan dan penetapan pemenang Pilkada oleh KPU.

Proses seleksi yang ketat itu diharapkan agar para pasangan calon terpilih mampu memenuhi harapan rakyat, bertindak adil, bekerja keras, mensejahterakan rakyat, dan yang dominan mendapat sorotan adalah tidak mencuri harta rakyat yang nantinya akan mengantarkan mereka ke penjara.

Sementara ini, Pilkada di Jawa Barat berjalan kondusif, tak terdengar kegaduhan dan teriakan keras pada pasangan calon kepala daerah memprovokasi para pendukungnya untuk mengacaukan Pilkada, karena perolehan suara rendah. Kapolri Jenderal Badrodin Haiti yang memantau jalannya Pilkada di Karawang, mengatakan, mendengar adanya praktik politik uang di sejumlah daerah. Bila ada temuan dan pasangan calon tidak terima, maka jalur hukum adalah solusinya, bukan pengadilan jalanan atau pengerahan massa untuk menciptakan suasana rusuh.

Masih dalam suasana Pilkada, Festival Antikorupsi Bandung 2015 yang berpusat di Kota Bandung menggema ke seluruh penjuru Indonesia, termasuk ke daerah-daerah yang menyelenggarakan Pilkada. Sejumlah tokoh antikorupsi datang ke acara ini, mulai dari Plt Ketua KPK Taufikurahman Ruki, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Menkopohukam Luhut Panjaitan, Menteri ESDM Sudirman Said, Kepala Kejaksaan Agung HM Prasetyo, hingga sejumlah wali kola dan bupati.

Acara ini membawa pesan agar rakyat dan semua pihak yang mengelola negeri ini melawan praktik korupsi. Praktik mencuri uang rakyat ini disepakati sebagai tindakan kejahatan berat karena merugikan dan menyengsarakan kehidupan rakyat. Kejahatan berat ini diharapkan tidak dilakukan oleh para pemenang kepala daerah yang baru. Jika kelak mereka tetap melakukan korupsi, sungguh terlalu. Pesan larangan itu terdengar sangat keras, apalagi teriak

Anak-anak Indonesia yang membentangkan kain berisi 20.000 cap tangan di Perca Intergitas di Alun-alun Bandung dalam Festival Antikorupsi tidak hanya menentang korupsi, tapi mereka mencintai para pemimpin agar tidak menghabiskan waktu bertahun-tahun di dalam penjara.
an stop korupsi berlangsung beriringan dengan hajat Pilkada.

Cukuplan sejumlah cerita para kepala daerah yang masuk penjara karena korupsi menjadi pelajaran berharga. Kasus teranyar kepala daerah masuk penjara adalah Bupati Sumedang Ade Irawan yang divonis dua tahun penjara karena terbukti melakukan korupsi dana perjalanan dinas. Sebelumnya, Majelis Hakim memvonis mantan Wali Kota Bandung Dada Rosada 10 tahun penjara karena tersangkut kasus korupsi dana bantuan sosial (Bansos). Lalu, Bupati Garut Agus Supriadi dihukum 10 tahun penjara dalam pengadilan banding karena melakukan korupsi APBD Kabupaten Garut tahun anggaran 2004-2007. Contoh lain, Mantan Gubernur Jawa Barat, Danny Setiawan, divonis empat tahun penjara, karena kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran Jawa Barat 2004. Beberapa kepala daerah yang terseret kasus korupsi divonis bebas.

Apakah mereka gembira? Dalam bantin mengatakan 'tidak.' Sebab, dalam sejarah mereka akan tercatat pernah masuk pengadilan karena perkara korupsi. Maka, para bupati/waki kota terpilih dalam hajat Pilkada, ingatlah pesan Festival Antikorupsi Bandung 2015, kebahagiaan pun akan engkau raih. (*)





Sorot, Sabtu, 12 Desember 2015

Kendel, Kandel, Bandel, Ngandel

ANAK-anak pelajar Sekolah Dasar di Kota Bandung mengekspresikan penolakan terhadap korupsi yang merajalela di Indonesia. Mereka melakukan dengan membubuhkan cap tangan di atas kain perca. Lalu menggoreskan spidol hitam dengan kata-kata yang isinya "lenyaplah" korupsi dan koruptor dari bumi Indonesia.
Cap telapak tangan murid-murid SD Kota Bandung itu akan dipajang di Alun-alun Kota Bandung di Hari Antikorupsi pada 9 Desember 2015. Kegiatan yang berlangsung Jumat (27/11/2015) itu sejatinya adalah upaya keras untuk memutus mata rantai korupsi yang menjangkit negeri ini.
Pendidikan antikorupsi sejak dini adalah jalurnya. Melalui upaya semacam itu, kita ingin anak- anak memiliki sifat kendel, kandel, bandel, ngandel. Empat kata ajaran bapak guru bangsa Ki Hajar Dewantara yang jarang terdengar di telinga.
Umumnya, kita hanya mengenal Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani.
Ki Hajar meyakini empat hal itu dapat membentengi manusia dari berbuat curang dan bertindak tanpa landasan yang benar.
Kendel, artinya berani. Maksudnya, kita berupaya sejak dini agar anak-anak berani bersiap dan melakukan apa saja yang baik demi kemajuan dirinya dan orang lain.
Tapi berani saja tidak cukup. Karena banyak tindakan yang dilakukan hanya bermodal berani ternyata salah dan mengganggu orang lain bahkan negara. Apalagi jika tak disertai tanggungjawab. Sebagai contoh, peristiwa ricuh kongres HMI di Pekanbaru, Riau.
Dengan beraninya, sekelompok (oknum) mahasiswa anggota kongres memukul dan melemparkan batu hingga terjadi kericuhan. Kongres yang mestinya menjadi ajang latihan bagi para mahasiswa memimpin negeri ini, malah jadi ajang tawuran dan meluapkan kemarahan. Sejumlah korban terluka dan dilarikan ke rumah sakit. Polisi menemukan banyak alat bukti berupa senjata api rakitan, parang, dan lainnya.
Berita mengejutkan lain, ratusan anggota kongres itu makan di restoran dan tidak membayar. Tindakan yang berani tapi tidak bertanggungjawab. Akhirnya mereka pun ditangkap polisi. Maka, anak-anak perlu memiliki sifat kandel. Maksudnya, anak harus tumbuh dengan ilmu yang luas.
Ilmu itulah yang akan memagari anak berbuat curang atau melanggar hukum. Ilmu yang menyadarkan mereka bahwa korupsi adalah pelanggaran dan dapat membuat hidup sengsara. Banyak contoh yang menggambarkan betapa sakitnya menjadi koruptor yang menjadi penghuni penjara atau wara wiri muncul di televisi dengan status "tersangka korupsi."
Kita juga menginginkan anak-anak tumbuh dengan sifat bandel. Loh? Bandel yang dimaksud Ki Hajar adalah anak-anak haruslah memiliki sifat yang tahan, kuat, resisten, terhadap godaan. Godaan dari semua ajakan berbuat jahat dan curang.
Banyak pejabat di negeri ini sangat tahan terhadap godaan berbuat curang tapi begitu masuk lingkaran kekuasaan, menjadi pejabat eksekutif maupun legislatif, terperangkap korupsi. Akhirnya, penjara pun menjadi rumah mereka.
Agar keberanian, ilmu, dan ketahanan diri terhadap godaan negatif anak-anak menjadi sempurna, Sang pendiri Perguruan Taman Siswa itu, melengkapi sifat lain, yakni ngandel.
Anak Indonesia haruslah ngandel atau percaya diri. Bukan overconvidence! Melainkan percaya diri karena setiap tindakannya dipercaya, dipegang kejujurannya, dan karena kebaikan-kebaikan lainnya.
Karena kebaikan itulah yang mengangkat derajat seseorang baik di dunia maupun ketika sudah wafat. Akhirnya, kita berharap semoga usaha keras para pendidik agar anak-anak memiliki sifat kendel, kandel, bandel, ngandel ini tidak sia-sia dan kalah pengaruh dari derasnya contoh buruk yang diberikan olah para pemimpin bangsa ini. (*)

Sorot, Senin, 30 November 2015 11:02

Doa Si Miskin Asep Sutandar Terkabul Melalui Tangan Sang Komandan

DOA yang dipanjatkan Asep Sutandar (63) dan keluarganya selama bertahun-tahun dikabulkan Allah, melalui perantara tangan Komandan Distrik Militer 0608 Kabupaten Cianjur, Letkol Arm Imam Haryadi. Keinginannya memiliki rumah yang layak untuk menggantikan kandang ayam yang belakangan ditempati Asep bersama istri dan delapan anaknya, segera terwujud.

Kenyataan yang sulit dibayangkan sebelumnya. Sebagai buruh tani di Kampung Selakopi, Desa Babakan Caringin, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Cianjur, penghasilnya hanya cukup untuk makan dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Gubuk reyot yang akhirnya hancur diterjang angin kencang pun tak dapat ia dirikan kembali. Itu mengapa Asep dan keluarganya terpaksa tinggal di kandang ayam, tak jauh dari sawah garapannya.
Apa yang dilakukan Letkol Arm Imam Haryadi? Imam tidak menggunakan sihir atau sulap untuk membangunkan rumah Asep, melainkan ia memanfaatkan kekuasaan dan amanah yang dimilikinya. Sebagai anggota tentara yang mengepalai Distrik Militer Cianjur, mudah baginya mengerahkan kolega dan anak buahnya, untuk melakukan banyak hal, termasuk gotong royong membangun rumah untuk Asep. Pasukan tentara sudah siap diterjunkan untuk turut membangun rumah. Imam memastikan rumah layak untuk Asep akan berdiri dalam waktu 14 hari.
Kata-kata dan perintahnya bak "jimat" yang dapat menembus tembok tebal birokrasi dan rasa empati yang tak tersalurkan. Hanya dengan bicara, Haji Rasimin, majikan Asep, pun merelakan tanahnya dipakai mendirikan bangunan. Obrolan yang selama ini mungkin tak dilakukan. Buktinya, Camat Karangtengah, yang membawahi Desa Babakan Caringin, tempat Asep sekeluarga tinggal, sampai kemarin mengaku tidak tahu ada warga yang hidup di kandang ayam.
Belakangan Pemerintah Kabupaten Cianjur bertindak. Tapi langkahnya kalah cepat. Meski menjanjikan akan memberikan bantuan material untuk membangun rumah Asep, pencairannya memerlukan waktu lama karena harus menunggu laporan berjenjang dari RT, RW, desa, kecamatan, baru setelah itu diusulkan kepada Bupati.
Tentara atau sipil yang memiliki jabatan atau kekuasaan berkewajiban menggunakan amanah sebaik-sebaiknya sehingga memiliki manfaat besar untuk kemaslahatan manusia. Bukan sesuatu yang sulit bagi mereka untuk mengerahkan massa dan anggaran untuk membantu rakyat yang kesulitan. Jika anggaran tak tersedia di kas daerah, mereka bisa mengajak kolega atau perusahaan untuk terlibat menyelesaikan masalah warga.
Di Cianjur, warga yang bernasib seperti Asep atau bahkan lebih miskin, masih banyak. Data dari Badan Pusat Statistik Cianjurmenyebutkan tahun 2014, warga miskin di Cianjur, berjumlah 259.547 orang dari total penduduk sebanyak 2,2 juta jiwa.
Pemerintah bisa saja mengkalim angka kemiskinanya turun dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, kondisi ekonomi yang labil mengakibatkan banyak orang kehilangan pekerjaan. Ditambah banyaknya alih fungsi lahan, para petani pun kehilangan pendapatan.
Gotong royong adalah solusinya. Namun, kebersamaan ini mulai tergerus oleh budaya kota. Maka perlu ada usaha dari pemerintah atau orang-orang yang berpengaruh untuk menggerakan massa, melakukan sesuatu yang positif dan produktif. Seperti halnya yang dilakukan Letkol Arm Imam Haryadi. Jika Bupati, Camat, Lurah,Dandim, Danramail, Kapolres, Kapolsek, melakukan itu, maka kekuasaan yang mereka miliki menjadi kekuasaan yang menolong. Kaum papa pun menjadi merasa memiliki "ayah" yang akan membantu menyelesaikan kesulitannya. (*)
Sorot, Bandung, Sabtu, 14 November 2015