Sunday, May 19, 2013

Caleg Ngapusi, Coret!

Berapa biaya menjadi seorang anggota dewan yang terhormat? Anda jangan melonggo kalau ternyata ongkos menjadi wakil rakyat bisa mencapai Rp 1 miliar. Itu biaya paling minim bagi mereka yang hendak menjadi wakil rakyat di pusat, DPR.

Ongkos untuk anggota dewan di daerah besarannya variatif, mulai dari Rp 300 juta sampai Rp 500 juta. Bahkan bagi mereka yang rajin melakukan kegiatan di lapangan, ongkosnya bisa lebih besar lagi. Anda yang rakyat kebanyakan tidak usah melongo. Bagi mereka uang bukan perkara yang sulit. Kalaupun harta kekayaan tidak cukup, demi menjadi wakil rakyat mereka bakal rela berutang ke sana ke mari.

Memangnya untuk apa uang sebanyak itu? Banyak kegiatan yang memerlukan biaya tinggi, di antaranya melakukan kunjungan ke daerah yang diwakili, sosialisasi, ongkos kegiatan sosial, biaya kampanye, dan yang paling banyak menyedot uang adalah membayar saksi di tiap tempat pemungutan suara (TPS) ketika pemilihan berlangsung.

Wakil Bendahara Umum Partai Golkar yang juga anggota DPR Bambang Soesatyo menyebut ongkos saksi kisaran Rp 50 ribu hingga Rp 100.000. Kalau dalam satu daerah pemilihan ada 5.000 sampai 10.000 TPS, berapa banyak uang yang harus disediakan oleh seorang calon anggota legislatif (caleg)? Silakan Anda hitung sendiri.

Di Indonesia, operasional partai memang belum bisa mandiri. Hampir semua ongkos kegiatan operasionalnya dibiayai oleh negera dan anggotanya, termasuk mereka yang mewakili Anda di gedung dewan. Karena tidak mandiri, maka para anggota dewan rawan melakukan penyimpangan.

Untuk apa? Untuk membantu keuangan partai dan mengembalikan ongkos politik yang membuat Anda melongo itu. Orang alim yang beruntung menjadi wakil rakyat kemudian menjadi koruptor bukan sesuatu yang rahasia. Anda bahkan bisa jadi sulit menghitung berapa banyak anggota dewan yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena tersandung kasus korupsi.

Sekadar mengingatkan, KPK pernah menetapkan anggota DPR karena dugaan penyimpangan proyek pengadaan Al Quran di tahun 2012. Di tahun yang sama, KPK juga menjadikan mantan puteri Indonesia yang juga anggota DPR menjadi tersangka proyek wisam atlet SEA Games di Sumatera Selatan dan poyek di Kemendikbud. Kasus ini kemudian menyeret banyak anggota dewan menjadi tersangka, termasuk ketua partai penguasa negeri ini. Belakangan yang paling mengejutkan ada presiden partai yang juga anggota DPR ditangkap KPK karena tersangkut kasus dugaan suap impor daging. Berita penangkapan presiden partai berasas Islam ini mengejutkan karena sama sekali tak terprediski. Anda bisa jadi marah karena sangat berharap beliau bisa banyak melakukan perubahan di tengah-tengah banyaknya isu korupsi. Nyatanya?

Wakil rakyat di daerah yang kemudian berlabel narapidana juga tidak sedikit. Kalau ditelusuri, relasi antara biaya politik tinggi dan penyimpangan di gedung dewan mungkin akan ketemu.
Di laman tempo.co, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute Hanta Yuda menyatakan, tingginya biaya politik Pemilu 2014 bakal berdampak pada korupsi politik di Indonesia. Ongkos politik, kata Hanta, wajib dibatasi dan dipantau oleh pemerintah.

"Banyak motif yang melatarbelakangi calon anggota legislatif mau menggelontorkan uangnya. Mereka paham partai butuh uang banyak," ujar Hanta.Menurutnya, tidak sedikit dari caleg yang berharap uangnya kembali. Ada juga yang ingin mendapatkan akses lebih atas kekuasaan dan status sosial.

Sekarang kita pun sudah amat sulit menemukan baliho, spanduk, atau poster caleg, yang mencantumkan slogan "Jujur, Bersih, dan Amanah." Paling banter menuliskan, "Bekerja untuk Rakyat."

Lalu, apakah tidak ada caleg jujur dan bersih? Tentu saja masih ada. Tapi jumlahnya tidak banyak karena harus bersaing dengan banyak caleg yang punya ongkos politik tinggi. KPK telah banyak memberi pelajaran. Memilih memang tidak mudah, butuh usaha keras untuk menguliti mereka jika tak ingin salah memlih. Jika Anda tak melihat ada niat baik menjadi wakil rakyat, Anda tahu cara menghukumnya. Coret!



Sekolah yang Memerdekakan

Pelajar sekolah dasar belajar di halaman sekolah  


SEORANG lelaki tua dengan kondisi kesehatan yang buruk mengucapkan terima kasih berulang- ulang kepada rekan saya yang seorang jurnalis. Padahal, rekan saya tak banyak berjasa untuknya. Ketika itu, dia hanya menyambangi sebuah sekolah yang meminta anaknya pulang dan tidak diperkenankan mengikuti Ujian Nasional (UN) gara-gara iuran sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) nunggak beberapa bulan. Dia menanyakan sebab pelarangan mengikuti UN dan mengapa pihak sekolah tidak memberikan kelonggaran kepada murid yang mengalami kesulitan keuangan. Padahal, keluarga lelaki tua itu memang layak dibantu. Rumahnya hanya rumah sewaan. Satu kamar dipakai ramai-ramai, termasuk berisi perabot keluarga. Lelaki tua itu tak bisa bekerja karena lama sakit-sakitan. Istrinya hanya buruh mencuci pakaian tetangga. Dan anak-anaknya belum ada yang bisa diandalkan untuk membantu ekonomi keluarga.

Rupanya, setelah cerita ada pelajar dilarang mengikuti UN meluas ke masyarakat, pihak sekolah menyambangi anak didiknya. Mereka berdamai dan meminta Si Miskin kembali ke bangku sekolah. Yah, meskipun dengan beralasan di sekolahnya banyak keluarga dengan kondisi ekonomi serupa yang juga perlu dibantu.

Si Miskin mejadi riang. Mimpinya yang hampir saja mati seolah mendapatkan siraman air. Ia membayangkan, ijazahnya akan membantu mengakhiri kemiskinan keluarganya. Angin syurga kembali berembus. Beberapa hari setelah kembali ke sekolah, ada sebuah keluarga yang bersedia membantu biaya melajutkan pendidikan yang lebih tinggi. Seandainya Si Miskin gagal mengikuti UN gara-gara SPP nunggak, maka ia dan keluarganya tetap akan hidup di bawah garis kemiskinan.

Peristiwa beberapa tahun lalu itu, kemarin terulang kembali. Kemarin Forum Orangtua Siswa (Fortusis) Kota Bandung mendapat banyak aduan orangtua murid yang anaknya terancam tidak bisa mengikuti UN karena belum memegang kartu peserta UN. Gara-granya? Siswa belum membayar uang SPP. Padahal, pelaksanaan UN dengan uang SPP secara langsung tidak berkaitan. UN diselenggarakan secara gratis. Bahkan, penyelenggaraan latihan mengerjakan soal UN sekalipun tidak diperbolehkan menarik pungutan karena akan memberatkan orangtua siswa.

Pada sebuah kesempatan, Irjen Kemendikbud RI, Haryono Umar, mengatakan kebijakan UN gratis masih berlaku. Untuk tahun 2013, pemerintah menganggarkan dana untuk penyelenggaraan UN sebanyak Rp 600 miliar, belum lagi bantuan dari pemerintah daerah. Maka, kalau ada pihak sekolah memungut biaya UN, apakah itu dengan modus uang bensin pengawas, konsumsi penjaga, dan dana kebersihan, orangtua siswa bisa mengkritisinya.

Tentu saja termasuk soal pelarangan karena belum membayar SPP. Pernyataan Umar cukup menjadi alasan orang tua meminta hak anaknya untuk tetap mengikuti UN karena biayanya ditanggung negara, bukan dari SPP. Apalagi untuk pelajar dari keluarga miskin. Tidak elok kiranya, pihak sekolah menakut-nakuti siswa dengan menahan kartu ujian jika belum membayar SPP. Selain bisa jadi karena memang belum ada uang, pihak sekolah mestinya mendukung siswanya agar fokus mempersiapkan diri mengikuti UN, tidak dihadapkan pada masalah yang akan mengganggu konsentrasinya.

Jika nilai UN jeblok dan dinyatakan tidak lulus UN, maka akan merugikan pelajar. Demikian dengan pihak sekolah, karena masyarakat bisa bekesimpulan sekolah gagal mencerdasakan muridnya. Jika anak terguncang jiwanya, maka ia akan mengurung diri, malu, dan merasa tidak berguna. UN persamaan (ujian paket C) atau mengulang tahun berikutnya sulit mengembalikan kepercayaan dirinya. Jika ini terjadi, maka sekolah turut andil menciptakan generasi yang lemah, rentan terjebak pada lingkungan yang buruk, dan mematikan cita-citanya. Anda pasti masih ingat banyaknya pelajar yang jiwanya terguncang dan melakukan bunuh diri karena malu tidak lulus UN. Apakah Anda tidak trenyuh mendapati berita demikian?

Ada baiknya, pihak sekolah bisa memahami dan memberi kelonggaran bari mereka yang benar- benar belum bisa melunasi tunggakan SPP. UN adalah syarat utama bagi mereka mendapatkan ijazah. Meskipun tak menjadi jaminan akan memperbaiki kehidupan seseorang, ijazah menjadi impian pada pelajar meniti masa depan dengan lebih leluasa, mencari pekerjaan atau melanjutkan pendidikan. Sekolah bukan penjara, tapi tempat yang mencerdasakan dan memerdekakan. (*)