Wednesday, April 30, 2008

Tak Perlu Mendendam

"Apa perlu aku tampar dia. Kelakukannya sungguh memuakkan, monyet benar dia itu. Dulu ia bilang akan menjaga, menyayangi dan melindunginya seumur hidup. Tapi, setelah menikahinya malah selingkuh dan meninggalkannya," Zami mengumpat penuh kekesalan mendengar sahabat perempuannya diperlakukan tak adil.

Zami kemudian menghujamkan kepalan tangannya ke tembok. Karena tembok jauh lebih keras dan kokoh, tulang jemari Zami memerah. Rentetan gigi rahang atas dan bawah saling menggapit. Tak tahu, Zami bertambah marah atau sedang menyembunyikan rasa nyeri di tangannya. Sepertinya, dia merasakan keduanya, marah dan nyeri di kepalan tangan. Umpatannya kembali meluap, keras, tegas, dan tajam. Bak sebilah pisau, siap dihunuskan.

"Orang seperti dia, mestinya mati saja."

Aku menghela napas dalam dalam. Yahccczzzzzzh... Kawan, aku sangat mengerti, bagaimana rasanya diperlakukan tidak adil. Pastilah, siapapun tidak akan terima. Aku mengerti karena aku sering mengalami peristiwa yang mengesalkan. Tapi aku berusaha melupakan kekesalan itu. Lho kok? Iya, tak ada guna terus disimpan dalam ingatan. Bisa jadi malah menguatkan hati untuk terus mendendam. Rugi kan? Otak dibuat terus mendidih dengan hasil yang sungguh tak menyenangkan. Emosi terus berlanjut, itu sangat menguras tenaga yang berlipat.

Ceritanya, waktu itu ada seorang perempuan ingin berbagi masalah denganku. Saat dia memintaku untuk mendengar semua keluh kesahnya, aku menerima saja. Yang ada dalam kepalaku saat itu, menolong teman adalah sebuah kebaikan. Toch, pekerjaan mendengarkan tak banyak menguras ongkos. Kalau tenaga pasti iya lah. Konsentrasi, iya juga. Toch (dua kali) aku juga sering melakukan itu kepada teman-temanku yang lain. Sejak saat itu, perempuan itu menjadi lebih sering mengungkapkan semua keluhnya kepadaku. Tak mengapa, bila aku kemudian sedikit ikut berusaha melakukan sesuatu agar dia menjadi lebih nyaman. Apa itu? Semisal aku mengatar dia pulang, menjemput dari kantornya, atau menemaninya makan malam. Bukan sesuatu yang istimewa. Tapi, bermula dari yang tak istimewa itulah kami menjadi akrab. Kepercayaan pun tumbuh dalam diriku.

"Dia perempuan yang baik dan butuh pertolongan." Itu kata-kata yang muncul dalam diriku setelah sekian lama mendengar cerita masa lalu dan masalah yang menimpanya saat itu. Aku menjadi semakin simpati (bukan mentari) saat ia menemukan sebuah peristiwa yang sanggat mengguncang jiwa. Sahabat perempuaku baru saja bertemu dengan seorang pria yang mengaku pamannya dan menceritakan masa lalu keluarganya yang kelam. Banyak rahasia yang sama sekali tak dikenalnya saat sahabat perempuanku masih kecil. Ia menceritakan masalah itu dengan uraian air mata. Aku menjadi semakin iba. Aku berusaha menenangkannya. Ia pun merasakan seolah udara sejuk kembali mengintarinya. Kehidupannya kebali normal.

Yang aku tak tahu, selama berteman denganku ternyata ia beberapa kali berbohong denganku. Padahal aku sudah sangat mempercayainya. Karena alasan itu, aku kemudian memberinya toleransi dan memaafkan. Pertemanan menjadi tak seindah sebelumnya, ada semacam batu yang mengganjal hingga pembicaraan menjadi tak lancar. Aku berusaha meyakinkan kalau aku benar-benar memaafkannya. Tapi kejadian itu muncul kembali. Di saat aku kembali membangun kepercayaan itu, dia seolah sengaja menciptakan kesalahpahaman agar dia bisa pergi dari hadapan diriku. Aku semakin tidak mengerti. Persoalan yang sungguh sangat sepele, gara-gara seniornya dia mendengar percakapanku dengannya, ia mengira aku telah membeberkan banyak kisah tentangnya. "Wis nggak mudeng tenan kie maksude cah ini." Meski aku menjelaskan dengan jujur. Dia tetap berspkekulasi tentang apa yang aku lakukan terhadapnya. Yo wis lah sak karepmu.

Sama seperti Zami, pada awalnya otaku mendidih. Kesal. Dan ingin mengatakan "Kepercayaan itu harganya mahal kawan, mahal dan tak bisa dibayar dengan uang, seberapa pun besarnya." Tapi aku tak tega mengatakannya. Sejak saat itu aku tak lagi bercakap dengan sahabat perempuanku. Dia memilih pergi, dan meningalkan banyak kata yang sama sekali aku tak mengerti. "Ternyata banyak, hal yang membuatku berfikir buruk tentangmu. Terimakasih atas kebaikanmu dan aku akan pergi menjauh, semoga engkau bahagia." Lha, maksunya apalagi ini, tambah gak mudeng.

Mengetahui kisahku, kemarahan Zami semakin menjadi-jadi. Kini dua tangannya mengepal. Ia menghujamkan ke meja. Bruuuuuukkkk.... meja itu bergetar. Sudahlah kawan, tak perlu mendendam. Tak perlu juga meminta Allah untuk mengganjarnya dengan kepahitan. Karena Allah telah berjanji kepadaku untuk membalas setiap kebaikan dan keburukan yang dilakukan manusia, meskipun sebiji Dzarrahpun. "[Az Zalzalah, 99:7] Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. [Az Zalzalah, 99:8] Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.

Yakin? Aku sangat yakin. Karena Allah akan membalas semua kejahatan yang telah dia lakukan terhadapku. Maka, aku memohon kepada Tuhanku untuk mengampuninya. So, how about those stories? lets the rain will wipe its.

Friday, April 18, 2008

Memetik Buah dari Sedekah Cinta

Cinta sungguh luas dan dalam maknanya. Sunan Bonang, salah seorang Wali Sanga, mengingatkan kerusakan di dunia akan merajalela bila cinta lenyap. Penjabaran ini menunjukkan cinta identik dengan iman.

Sunan Bonang, dalam Suluk Wujil, membeberkan sederet makna cinta terdalam. "Jadikan dirimu cinta, agar dapat memandang dunia dengan terang.../Kerusakan di dunia ini muncul karena amal perbuatanmu dan karena tiadanya cinta/ Yang harus dimiliki ialah yang tak dapat hancur/Yakni cinta dan makrifat, pengetahuan sempurna."

Cinta pun identik dengan hati ikhlas, tidak rakus dengan dunia, lebih memiliki kepekaan dalam menyerap pelajaraan ilmu batin. Orang yang berhati ikhlas lebih mudah memusatkan konsentrasinya pada satu titik tujuan, yaitu persoalan yang dihadapinya.

Penelitian tim University of Columbia dan Harvard Business School, AS, yang diumumkan Kamis, 20 Maret 2008, memberikan petunjuk lain. Dengan membelanjakan paling kecil 5 dolar AS (lebih kurang Rp 45 ribu) tiap hari untuk orang lain, seseorang dapat meningkatkan kebahagiaannya secara berarti.

Diana Ekarini (36) adalah salah seorang yang mendalami makna cinta tersebut. Ia menemukannya setelah menghayati sedalam-dalamnya nasib yang sedang dialaminya. Ia kemudian membagikannya kepada semua orang lewat bukunya, Menggapai Makna Meraih Kebahagiaan dengan Sedekah Cinta. Buku ini laris manis.

Sabtu (12/4), ia pun berbagi pengalamannya dengan jemaah majelis taklim Salman di Mesjid Salman ITB, Bandung. Ternyata, cukup panjang dan berliku jalan yang dilalui Diana, sapaan akrabnya, untuk menemukan hakikat makna cinta itu.

Cobaan amat berat mulai menerpa Diana pada 2005. Putra pertamanya, Abiyu Nurhakim (9), divonis dokter menderita radang selaput sendi. Berbagai pengobatan pun dilakukan. Belum juga sembuh, pada November 2006 penyakit Abi, panggilan akrab anaknya, kambuh.

Diana membawa Abi ke laboratorum di RS Hasan Sadikin untuk menjalani pemeriksaan. Hasilnya, Abi menderita leukemia. Langit seolah runtuh. Berbagai pertanyaan muncul di hati Diana. Mengapa Tuhan memberi Abi cobaan teramat berat?

"Mata saya lalu berkunang-kunang. Malah dokter sudah menyiapkan dua perawat untuk menjaga saya. Saya tak tahu harus berbuat apa. Yang saya tahu, saya harus tenang," tutur Diana kepada Tribun seusai berbagi pengalamannya di Mesjid Salman.

Tak ada pilihan lain kecuali melakukan kemoterapi. Namun, keputusan itu tak mudah. Selain perlu biaya besar, kemoterapi tak boleh terputus selangkah pun. Hal lain adalah mitos-mitos menyeramkan yang muncul selama menjalani kemoterapi.

Pada saat bersamaan, Diana mendengar seorang pasien serupa meninggal setelah dirawat di Singapura. Padahal biaya perawatannya sudah mencapai Rp 4 miliar. Cobaan lain yang menyesakkan hati bagi Diana adalah kondisi sang suami, Muhammad Ihsan.

Pria ramah ini sedang menjalani perawatan penyakit jantung di Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta. Diana tak bisa bergantung pada suaminya yang juga sedang sakit. Terpikirkan olehnya untuk menjual rumah dan mobil.

Di tengah kesulitan itu, Diana memutuskan untuk melakukan terapi sedekah. Ia kemudian berkonsultasi wisata hati ke Ustad Yusuf Mansur.

"Hati saya seperti disentil. Saya punya dua rumah dan mobil, apakah semua itu sudah disedekahi? Sebab, di dalamnya ada hak orang lain. Saya pikir, sedekah saya masih kurang," kata Diana.

Mulailah ia rajin bersedekah. Sekadar ingin berbagi pengalaman dan tidak untuk riya, Diana mengatakan saat itu ia bersedekah uang satu juta rupiah. Atas kehendak Allah, keesokan harinya uang tabungan di rekeningnya bertambah Rp 10 juta.

Rupanya, teman lama di luar negeri tergerak ingin membantunya. Contoh lain saat ia menjual perhiasan untuk biaya perjalanan ke Jakarta, menjalani perawatan suaminya. Sebagian uangnya ia sedekahkan kepada ibunya.

Saat ia hendak berangkat, seorang teman memberinya sebuah amplop. Tenyata berisi uang. Seolah rezeki terus mengalir, mulai dari keluarganya, sahabat, orang tua, teman sekolah Abi, dan kemudahan-kemudahan lain selama menjalani kemoterapi di RSHS.

"Keyakinan bersedekah itu harus dicari. Maksudnya, kalau kita berpikir positif maka hasilnya juga positif. Saya tahu bahwa bersedekah baik menurut agama, dan hasilnya dari Allah," kata Diana, yang tinggal bersama keluarganya di Jalan Jatiwangi Raya 25, Antapani, Bandung.

Dr Ir Ahmad Nasution, yang juga menjadi narasumber acara itu, mengatakan, kalau seseorang berpikir positif sekarang, hasil yang akan datang pun positif. Kesembuhan sebuah penyakit karena obat, tapi Allah tak pernah menyebutkan jenis obatnya.

"Tak terpikirkan oleh kita bahwa obat itu adalah ucapan, perbuatan, dan berpikir positif," katanya.

Diana sangat merasakan efek dari terapi sedekah cinta. Putranya, Abi, tak banyak mengeluh selama menjalani kemoterapi.

Rambutnya tidak rontok dan tak merasakan sakit saat disuntik. Setelah menjalani kemoterapi lebih dari setahun, kini Abi melakukan kemoterapi dua bulan sekali.

"Saya bersyukur karena banyak diberi kemudahan. Rumah saya tak jadi dijual. Saya selalu dicukupkan, tiap pagi Abi tersenyum dan saya bahagia," tutur Diana.(*)

Monday, April 7, 2008

Icha dan Keihlasan Cintanya....


RABU (19/3). Malam masih bermain-main dengan tetesan air hujan. Derasnya semakin terasa ketika tubuh ini berdiri di atas tanah lapang. Sang dingin pun seolah mendapat restu untuk menguliti setiap tubuh di luaran sana. Aku memutuskan untuk duduk di bangku panjang beberapa meter dari pos satpam sebuah penerbitan koran di Kota Bandung. Tentu karena aku tak mau bermandikan air hujan. Belum lagi sudah dua hari ini badanku meriang. Batuk juga mulai ikut-ikutan menyiksaku saat udara dingin datang.

Icha ada di sana. Sebelum aku memutuskan duduk di bangku itu, aku merasa ada yang berubah dalam sikap Icha. Berubah karena ia tak menyapaku dengan riang. Malah dia acuh dengan kehadiranku di sampingnya.

Aku mengenal Icha sebagai perempuan muda yang tangguh, cekatan dan cepat akrab. Pantas saja kalau setiap ada kegiatan di kantor, ia selalu diikutkan dalam kepanitian. Kalau tidak jadi MC (Master of Ceremony), dia akan diminta sebagai penjemput tamu. Selain karena alasan ia berparas cantik, tentu karena sangat ramah. Icha yang ramah dan murah senyum, sudah pasti ia memiliki banyak teman. Semua karyawan di tempat kerjanya saya yakin mengenalnya.
Malam itu, aku tak melihat Icha yang aku kenal. Ia menekuk wajahnya. Muram dan sedikit seyum. Bicaranya pun tak banyak. Saat menyapaku dengan senyum, aku menangkapnya sebagai sebuah keterpaksaan. Hanya sekadar melempar hormat kepada orang-orang yang dikenalnya. Bicaranya juga tak banyak.

Dengan suara pelan aku mengajaknya berbicara.
“Cha, kok diam, lesu gini. Apa lagi sakit? Atau lagi ada yang dipikir?”
Icha lama tak menjawab. Mungkin ia ingin menumpahkan beban berat di kepalanya. Namun masih ragu.
Keheningan pecah dengan sebuah pertanyaan yang nggak nyambung, dengan pertanyaanku yang tak mendapat jawaban.
“Aa, kapan mau menikah?”
“Doakan saja secepatnya.”
Aku kemudian bertanya balik dengan pertanyaan serupa.
“Kalau Icha kapan nikahnya?”
“Doakan saja secepatnya.”

Jawabannya menandakan kalau Icha sudah menjalin hubungan serius dengan seorang pria. Tapi, selama ini aku tak pernah mengerti, pria mana yang telah mengikat hatinya. Yang aku tahu, ia pernah berhubungan dengan sahabatku. Namun usianya tak panjang. Sahabatku memilih menikahi perempuan lain. Icha tak menganggapnya sebagai sebuah tragedy. Buktinya, sampai saat ini mereka masih menyapa bahkan suka guyon.

“Cowomu orang mana?”
“Cowoku orang Jakarta, tapi dia sudah almarhum.”
“Dia sakit tumor otak.”

Pertanyaanku, mengapa Icha sekarang lebih banyak diam dan sedikit senyum, mulai terjawab. Tak mudah melepas kepergian orang yang sangat dekat. Apalagi, selama ini telah mengukir pesan cinta di dalam hati. Sungguh sebuah perpisahan yang tak mudah.

Icha mulai banyak bercerita. Ia memulainya dengan sebuah kisah, 40 hari sebelum kematian pacarnya, Fajar Raditya Maulana. Saat itu, pacarnya datang ke Bandung mengendarai sepeda motor Thunder. Sebuah perjalanan yang jarang dilakukan. Biasanya, pacarnya datang menggunakan transportasi umum, kereta api atau bus. Tapi kali ini ia memilih mengendarai sepeda motor. Mereka lantas pergi ke sebuah tempat rekreasi di wilayah Ciwiday, Kabupaten Bandung. Tempat itu dikenal masyarakat dengan sebutan Kawah Putih. Sebuah objek wisata alam yang sangat mengesankan. Kawah yang menyerupai danau kecil dibingkai dengan butiran-butiran pasir putih. Bebatuan di tepian kawah menambah keelokan tempat itu. Pohon-pohon berbadan besar berdiri tegak di sekelilingnya. Pantas lah sekiranya, Icha dan kekasihnya kemudian tertarik untuk menghabiskan waktunya di sana.

Aku bisa membayangkan bagaimana kenangan di Kawah Putih itu masih menggelayut di kepalanya.
Cerita lain yang juga sulit lenyap dari pikirannya adalah ketika sang kekasih tiba-tiba berhasrat untuk mengaji. Padahal, sebelumnya ia lebih suka menyenandungkan lirik lagu yang berkisah tentang cinta abadi.
“Neng Aa mau ngaji ya. Dengerin!”
“Iya, neng dengerin kok.”
Raditya kemudian melafalkan suratan pendek dalam Al Quran. Meskipun tak begitu bagus, tapi ia hafal. Sebuah perubahan yang amat luar biasa. Mungkin karena Raditya ingin menunjukkan kesungguhannya sebagai seorang pria yang akan menjadi suami yang baik, kelak.
Di saat semua rencana pernikahan berjalan baik, Tuhan memberikan ujian berat kepada mereka. Raditya merasakan sakit yang hebat di kepala. Ia pun lantas dilarikan ke rumah sakit di Jakarta.

Icha berkorban demi kesmebuah sang kekasih. Setiap Sabtu sore, ia pergi ke Jakarta. Lalu menemani Raditya menjalani perawatan. Meskipun Raditya tak akan banyak bercerita kepadanya, Icha tetap setia berada di sampingnya. Icha bisa menerjemahkan setiap gerak jari dan nafas yang keluar dari dalam tubuh Raditya yang terbaring tak sadarkan diri. Icha tahu kalau kekasihnya yang tak sadarkan diri sedang berjuang memenuhi janjinya, menjadi suami yang baik baginya, kelak.

Icha menghentikan kisahnya. Tangan kanannya dimasukan ke dalam tas. Sebuah handphone sudah ada di tangan. Ia menunjukkan rekaman-rekaman gambar saat hari-hari terkahir menjelang kematian Raditya.

Video pertama, merekam suasana saat Icha berpamitan pulang ke Bandung karena ia harus bekerja.
“Aa, Icha pulang dulu ya.”
Raditya menjawab dengan kalimat yang tak jelas. Lalu Icha menuntunnya untuk berbicara pelan.
“Icha pulang dulu ya. Sok Aa mau ngomong apa, pelan-pelan saja.”
Raditya tetap saja membalas dengan kalimat yang tak jelas. Tapi, Icha tahu kalau kekasihnya menginginkan ia tetap berada di sampingnya. Icha kemudian berjanji akan datang lagi pada Sabtu mendatang.

Rekaman film pertama berkahir. Tanpa melihat ke layar hendphone, Icha memutar video yang lain. Di video yang kedua, menceritakan peristiwa di saat Raditya berjuang menahan rasa sakit setelah menjalani operasi tumor otaknya. Badannya terus begetar. Ekpresi matanya yang membuka dan menutup menunjukan ia sedang melawan rasa sakit yang begitu hebat. Lalu, ibunya yang mengenakan pakaian warna putih datang memberinya semangat untuk terus berjuang dan menerima ujian Tuhan dengan kesabaran.

Setelah menunjukkan peristiwa yang terakhir, Icha kembali menekuk mukanya. Arimatanya hampir tumpah. Ia diam. Menata hatinya untuk tidak larut dalam kesedihan. Ia kembali menceritakan saat kematian itu menjemput Raditya.

Saat Tuhan meminta Raditya meninggalkan dunia, Icha sedang berada di Bandung. Malam sebelum kematin, Icha berdoa untuk kesembuhan Raditya. Malam itu, Icha melihat sesosok pria yang menyerupai Raditya hadir saat ia sedang berdoa. Pria itu tersenyum. Tapi tak mengatakan apa-apa. Icha menceritakan peristiwa itu kepada keluarganya. Mereka menggap Icha sedang kecapaian dan berhalusinasi. Tapi Icha yakin bahwa itu adalah sebuah pertemuan, meskipun tanpa dialog. Sebuah perjumpaan terkahir sebelum kekasihnya menghadap Yang kuasa.

Paginya, orangtua Raditya mengabarkan kalau putranya telah menghadap Yang kuasa untuk selamanya. Icha menghela nafas panjang, berusaha tegar menerima suratan Tuhan. Namun, airmata itu tetap saja tumpah.
“Malam itu, mungkin ia ingin berpamitan sama Icha.”
“Icha nyusul ke Jakarta, begitu banyak orang yang datang mendoakan dia. Yach..semoga Tuhan menempatkan dia di tempat yang sebaik-baiknya.”

Icha memberiku kesempatan untuk berbicara. Aku berusaha membesarkan hatinya. Kataku, keamatin adalah sepenuhnya hak Tuhan. Dan kematian akan mendatangi setiap orang tanpa melihat ia adalah orang baik atau orang jahat. Beruntunglah menjadi orang baik. Karena, kepergiannya akan dirindukan banyak orang. Dan Raditya adalah pria baik yang sungguh-sungguh berniat membahagiakan Icha, kelak, dalam sebuah kelurga yang sakinah. Karena kematian adalah kuasa Tuhan, maka, satu hal yang tak boleh dilupakan, kita tak boleh larut dalam kesedihan. Sebab kehidupan masih akan terus berjalan, maka kesedihan tidak lah seharusnya merusak rutinitas lain. Pekerjaan tetap lah dikerjakan dengan baik. Persahabatan tetap lah hangat. Senyum dan sapaan tetap lah mengalir. Tahukan engkau, Tuhan sangat suka dengan orang-orang yang sabar dan berserah diri (tawakal). Karena, ada banyak pelajaran di balik ujian Tuhan.

“Doakan saja mas.”

Icha berjanji akan menjadi dirinya sendiri. Icha yang aku kenal sebagai perempuan yang periang dan murah senyum.
Langit gelap tetap saja menumbuk bumi dengn butiran air hujan. Padahal kami sudah dua jam menyandarkan tubuh di bangku panjang dekat pos satpam. Hawa dingin pun semakin tak memberi ampun. Rasa gatal ditenggorokanku mengusik sang batuk dan membetot kerongkonganku berulang-ulang.

Angkutan kota juruan Jalan Muhammad Toha berhenti tepat di seberang Jalan Malabar di depan kantor penerbitan koran lokal di Kota Bandung. Icha memaksa untuk pulang. Aku pun demikian. Biarkan hujan menghapus jejak kesedihan dan pagi yang cerah menggantinya dengan suka cita. Amin…….

Sunday, April 6, 2008

"Kamu Marah ya?"

SEORANG perempuan selalu bertanya begitu, sesaat setelah saya diam. Apa saya ini
tak boleh diam, memikirkan sesuatu yang mengawang dalam pikiran saya. Apakah
diam harus selalu berarti marah. Tidak teman. Marah sudah ada dalam diri manusia.
Tapi, apakah tidak boleh kalau saya berusaha untuk menggantinya dengan diam sesaat.
Sudah sejak lama saya berusaha menggati marah dengan senyum, meski ketika datang
ke Kota Bandung sifat yang muncul karena "keakuan itu" terusik. Maka, saya memilih
diam untuk merenungkan setiap peristiwa pahit yang melintas di hadapan muka saya.

"Boleh jadi saya lah yang keliru, maka, tak ada alasan saya untuk marah."

Saya merasa Kota Bandung tak seramah Purwokerto. Loh kok? Saya melihat orang-orang di kota ini dengan mudahnya mengumpat dengan umpatan "ajing yang goblok" ketika sebuah peristiwa menjadikan seseorang menjadi tidak nyaman. Saya kira hanya orang-orang dewasa yang bisa melakukan itu. Ternyata tidak. Bocah-bocah yang masih duduk di bangku sekolah dasar pun sudah sering mengolok dengan umpatan itu. Bandung menjadi tak nyaman, tentu wajar karena Kota Bandung jauh lebih ramai, lebih luas dan wajar pula karena Kota Bandung adalah ibukota Provinsi Jabar.
Karena kebesaran nama kota ini, orang pun mengira Bandung layaknya negeri Paman
Sam yang banyak memberikan harapan bagi orang kampung. Dan kemudian muncul
belief yang memahkotai Paman Sam sebagai "American Dream."Keliru, Bandung bukan Amerika. Meski tanahnya subur dan kaya, tapi pemimpinnya terbisa korup. Menjadi semakin rusak karena masyarakatnya masa bodoh. Maka, pembangunan pun bukan didasarkan pada kepentingan masyarakat, melainkan didasarkan pada pertimbangan seberapa banyak keuntungan yang akan masuk ke saku pemimpin.

"Percuma saya bicara dengan pemerintah. Selesai menyampaikan pemikiran saya (yang
berseberangan), para preman akan mendatangi saya. Pemerintah lebih berpihak kepada
kontraktor ketimbang para akademisi," keluh seorang professor bidang planologi di
sebuah perguruan tinggi di Bandung kepada saya.

Karena pembangunan yang dilakukan berdasarkan proyek, maka terjadi banyak
kerusakan di mana-mana. Jalan bertambah macet karena SPBU bertebaran di tengah
kota. Air meluap membanjiri jalan-jalan di kota karena gorong-gorong tak lagi mempu
menampung air dan tanah terbuka habis menjadi beton. Gelo. Itu mengapa hawa di kota ini semakin hari semakin panas. Demikian dengan masyarakatnya. Simpati dan empati seolah hampir ludes termakan ego. Ego yang membakar diri, karena merasa paling benar atau kerena berkuasa. Dan orang pun menjadi gampang marah.

Saya tak mau ikut-ikutan. Biarkan marah menjadi milik orang lain. Biarkan hati ini
sejuk, persis ketika Bandung tempoe doeloe saat pohon-pohon memagari cekungan
Bandung dan sungai meliuk di tengahnya. Sangat sejuk.Tahukan engkau kawan, sifat benci, marah dan iri hati adalah tiga sekawan yang lahir dari kemelekatan dan keakuan. Bila ketiganya ini dimiliki oleh seseorang, maka jadilah dia orang yang paling menderita karena ketegangan dan frustasi. Rasa benci adalah pembunuh kegembiraan yang paling besar, tidak ada kegembiraan maupun ketenangan di hati mereka yang memiliki rasa benci.

Saya ingin seperti Mahatma Gandhi. Ia tak membalas setiap kebencian dengan
kebencian, melainkan dengan diam dan cinta kasih. Ia adalah pelopor perjuangan cinta
kasih (Swadesi), dengan tanpa kekerasan memboikot industri inggris dengan
memajukan cinta kasih. Meskipun cinta kasih itu tak selalu terbalaskan oleh keihlasan
cinta. Kebencian telah menyebabkan seseorang menembak Mahatma Gandhi dengan
senapan sehingga peluru menembus dadanya. Tahukan engaku kawan, dengan cinta
kasihnya Mahatma Gandhi meminta kepada mereka yang berusaha menolongnya agar
membebaskannya dan mengampuni orang yang menembak dirinya.

Mulia bukan? Tak mudah memang. Tapi boleh lah kita mencobanya. Karena kemarahan akan sama buruknya dengan kebencian. Dan kemarahan menjadikan orang lupa kepada kebenaran, maka saya memilih diam sejenak untuk merenungkan apa yang terjadi di hadapan dan diri saya. Dan diam, bukan berarti marah......