Wednesday, April 30, 2008

Tak Perlu Mendendam

"Apa perlu aku tampar dia. Kelakukannya sungguh memuakkan, monyet benar dia itu. Dulu ia bilang akan menjaga, menyayangi dan melindunginya seumur hidup. Tapi, setelah menikahinya malah selingkuh dan meninggalkannya," Zami mengumpat penuh kekesalan mendengar sahabat perempuannya diperlakukan tak adil.

Zami kemudian menghujamkan kepalan tangannya ke tembok. Karena tembok jauh lebih keras dan kokoh, tulang jemari Zami memerah. Rentetan gigi rahang atas dan bawah saling menggapit. Tak tahu, Zami bertambah marah atau sedang menyembunyikan rasa nyeri di tangannya. Sepertinya, dia merasakan keduanya, marah dan nyeri di kepalan tangan. Umpatannya kembali meluap, keras, tegas, dan tajam. Bak sebilah pisau, siap dihunuskan.

"Orang seperti dia, mestinya mati saja."

Aku menghela napas dalam dalam. Yahccczzzzzzh... Kawan, aku sangat mengerti, bagaimana rasanya diperlakukan tidak adil. Pastilah, siapapun tidak akan terima. Aku mengerti karena aku sering mengalami peristiwa yang mengesalkan. Tapi aku berusaha melupakan kekesalan itu. Lho kok? Iya, tak ada guna terus disimpan dalam ingatan. Bisa jadi malah menguatkan hati untuk terus mendendam. Rugi kan? Otak dibuat terus mendidih dengan hasil yang sungguh tak menyenangkan. Emosi terus berlanjut, itu sangat menguras tenaga yang berlipat.

Ceritanya, waktu itu ada seorang perempuan ingin berbagi masalah denganku. Saat dia memintaku untuk mendengar semua keluh kesahnya, aku menerima saja. Yang ada dalam kepalaku saat itu, menolong teman adalah sebuah kebaikan. Toch, pekerjaan mendengarkan tak banyak menguras ongkos. Kalau tenaga pasti iya lah. Konsentrasi, iya juga. Toch (dua kali) aku juga sering melakukan itu kepada teman-temanku yang lain. Sejak saat itu, perempuan itu menjadi lebih sering mengungkapkan semua keluhnya kepadaku. Tak mengapa, bila aku kemudian sedikit ikut berusaha melakukan sesuatu agar dia menjadi lebih nyaman. Apa itu? Semisal aku mengatar dia pulang, menjemput dari kantornya, atau menemaninya makan malam. Bukan sesuatu yang istimewa. Tapi, bermula dari yang tak istimewa itulah kami menjadi akrab. Kepercayaan pun tumbuh dalam diriku.

"Dia perempuan yang baik dan butuh pertolongan." Itu kata-kata yang muncul dalam diriku setelah sekian lama mendengar cerita masa lalu dan masalah yang menimpanya saat itu. Aku menjadi semakin simpati (bukan mentari) saat ia menemukan sebuah peristiwa yang sanggat mengguncang jiwa. Sahabat perempuaku baru saja bertemu dengan seorang pria yang mengaku pamannya dan menceritakan masa lalu keluarganya yang kelam. Banyak rahasia yang sama sekali tak dikenalnya saat sahabat perempuanku masih kecil. Ia menceritakan masalah itu dengan uraian air mata. Aku menjadi semakin iba. Aku berusaha menenangkannya. Ia pun merasakan seolah udara sejuk kembali mengintarinya. Kehidupannya kebali normal.

Yang aku tak tahu, selama berteman denganku ternyata ia beberapa kali berbohong denganku. Padahal aku sudah sangat mempercayainya. Karena alasan itu, aku kemudian memberinya toleransi dan memaafkan. Pertemanan menjadi tak seindah sebelumnya, ada semacam batu yang mengganjal hingga pembicaraan menjadi tak lancar. Aku berusaha meyakinkan kalau aku benar-benar memaafkannya. Tapi kejadian itu muncul kembali. Di saat aku kembali membangun kepercayaan itu, dia seolah sengaja menciptakan kesalahpahaman agar dia bisa pergi dari hadapan diriku. Aku semakin tidak mengerti. Persoalan yang sungguh sangat sepele, gara-gara seniornya dia mendengar percakapanku dengannya, ia mengira aku telah membeberkan banyak kisah tentangnya. "Wis nggak mudeng tenan kie maksude cah ini." Meski aku menjelaskan dengan jujur. Dia tetap berspkekulasi tentang apa yang aku lakukan terhadapnya. Yo wis lah sak karepmu.

Sama seperti Zami, pada awalnya otaku mendidih. Kesal. Dan ingin mengatakan "Kepercayaan itu harganya mahal kawan, mahal dan tak bisa dibayar dengan uang, seberapa pun besarnya." Tapi aku tak tega mengatakannya. Sejak saat itu aku tak lagi bercakap dengan sahabat perempuanku. Dia memilih pergi, dan meningalkan banyak kata yang sama sekali aku tak mengerti. "Ternyata banyak, hal yang membuatku berfikir buruk tentangmu. Terimakasih atas kebaikanmu dan aku akan pergi menjauh, semoga engkau bahagia." Lha, maksunya apalagi ini, tambah gak mudeng.

Mengetahui kisahku, kemarahan Zami semakin menjadi-jadi. Kini dua tangannya mengepal. Ia menghujamkan ke meja. Bruuuuuukkkk.... meja itu bergetar. Sudahlah kawan, tak perlu mendendam. Tak perlu juga meminta Allah untuk mengganjarnya dengan kepahitan. Karena Allah telah berjanji kepadaku untuk membalas setiap kebaikan dan keburukan yang dilakukan manusia, meskipun sebiji Dzarrahpun. "[Az Zalzalah, 99:7] Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. [Az Zalzalah, 99:8] Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.

Yakin? Aku sangat yakin. Karena Allah akan membalas semua kejahatan yang telah dia lakukan terhadapku. Maka, aku memohon kepada Tuhanku untuk mengampuninya. So, how about those stories? lets the rain will wipe its.

No comments: