Friday, September 27, 2013

Lapor, Bikin KK Kok Lama

KANG Wahyu, tetangga sebelah rumah, sudah berada di pendopo Kecamatan Ujungberung, sebelum para pegawai bekerja. Kira-kira pukul 7.45 WIB. Dia sengaja datang lebih pagi agar dengan mudah mendapati petugas. Lewat dari pukul 10 WIB, terkadang harus menunggu lama karena petugas tak ada di tempat. Maklum, banyak pegawai negeri yang berpikir sebagai raja, bukan pelayan. Di jam kerja, mereka ada di pasar, mall, bengkel, atau ramai-ramai ikut dalam kunjungan pimpinan. Malah belakangan ada pegawai negeri yang berbulan-bulan enggak ngantor tapi tetap menerima gaji. Untung bukan di Kota Bandung. Ada enggak ya di Bandung?

Wali Kota Bandung Ridwan Kamil bersepeda menuju kantornya.
Foto: Gani Kurniawan/Tribun Jabar
Meski sudah datang pagi, Kang Wahyu tetap harus menunggu karena semua pegawai akan melakukan apel pagi. Selanjutnya, kipas-kipas kepanasan, sepeti yang terlihat di banyak kantor pemerintahan di Kota Bandung. Atau, membolak balik isi koran yang ada di meja. Dari sekian banyak pegawai, hanya beberapa saja yang melayani urusan masyarakat.

Sebagai masyarakat, Kang Wahyu tentu kecewa dengan lambannya pelayanan birokrasi di Kota Bandung. Bayangkan saja, dia harus bolak balik dari kecamatan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Bandung, untuk mengurus kartu keluarga dan KTP baru. Berkas menginap lebih dari sepuluh hari di Disdukcapil. Lalu kembali ke kecamatan dengan waktu yang hampir sama. Setelah disposisi, kembali lagi ke Disdukcapil. Yah, pokoknya untuk membuat KK dan KTB baru perlu waktu berbulan-bulan. Padahal pemerintah sendiri mengimbau warga untuk membuat atau memperbaharui data kependudukan. Artinya, pelayanan tak selaras dengan program.

Saya, Kang Wahyu, dan juga Anda sangat berharap pada Wali Kota Baru Ridwan Kamil untuk membenahi birokrasi di Kota Bandung yang bekerja lamban dan gemuk, dengan gerakan pemerintah bersih dan terbuka.

"Saya kasih kesempatan pada seluruh staf dan karyawan pemkot dengan adanya target-target yang harus dicapai, jika target tercapai silakan dilanjutkan. Jika tidak tercapai akan dilakukan evaluasi apakah lanjut jabatannya atau tidak," kata Kang Emil, sapaan akrab wali kota, ketika dinyata wartawan soal program kerjanya.

Emil pun berjanji akan sering turun ke bawah memantau kinerja birokrasinya. Untuk menyambungkan keluhan masyarakat dan Pemkot Bandung, Emil meminta semua kepala dinas membuat akun twitter. Komunikasi era digital ini akan memudahkan masyarakat mengadu. Pemerintah pun akan semakin cepat mengetahuinya. Pertanyaannya, akan secepat apa respons pemerintah terhadap keluhan masyarakat? Termasuk keluhan Kang Wahyu dan masyarakat lainnya yang hampir setiap hari mempertanyakan kapan KTP, KK, surat izin dagang, IMB, dll, bakal kelar.

Mengubah birokrasi yang terbiasa dengan kerja santai memang tidak mudah. Emil perlu kerja keras, terus memantau, dan turun ke kantor-kantor untuk melihatnya. Memberi teladan disiplin dan memenuhi deadline dalam bekerja. Seperti yang dilakukan Gubernur DKI, Jokowi, birokrasi Jakarta berangsur membaik setelah hampir setiap hari disanggongi. Pegawai yang terlambat dan tak mau berubah dibeber ke media. Malah, untuk jabatan lurah dan camat akhirnya dilelang untuk menata ulang birokrasi yang komitmen dalam melayani masyarakat.

Menjadi pegawai yang amanah, tak perlu menunggu Emil mengancam akan menggusur. Atau menunggu rencana mutasi. Tetapi dengan kesadaran mewujudkan Bandung lebih baik adalah kerja bersama. Selain itu, bagi mereka yang bergama tentu meyakini bahwa setiap jabatan akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan.

Tapi di era kepemimpinan Emil, masyarakat tak perlu cemas hak-hak masyarakat tak dilayani dengan cepat. Masyarakat bisa mengadukan langsung siapa pegawai, camat, atau kepada dinas yang kerjanya loyo dan malas-malasan, ke Kang Emil. Karena kang Emil mudah ditemui di jalanan ketika sedang bersepeda ontel. Atau ketika sedang menikmati taman-taman tematik di Kota Bandung. Lapor, bikin KK kok lama? (*)

Selasa, 24 September 2013

Karena Mencintai Dul


OBROLAN anak laki-laki bungsu musisi Ahmad Dhani, Abdul Qodir Jaelani alias Dul, mengantarkan pacarnya ke Bogor, Jawa Barat, pulang pada Sabtu (7/9), dan berakhir dengan cerita tragis, tak hanya menjadi obrolan ibu-ibu di warung sayur. Tapi, sehari setelah kejadian itu, cerita itu juga mampir ke teras Masjid As-Shiddiq, Ujungberung.

Kajian tafsir Quran selepas salat suhuh bertambah panjang. Tema kecelakaan yang menimpa Dul di kilometer 8 Tol Jagorawi, arah ke Jakarta, saat mengendarasi mobil Mitsubishi Lancer Evo X dengan kecepatan tinggi, lalu oleng dan menabrak pembatas jalan hingga menyeberang ke jalan sampingnya, tiba-tiba muncul. Apa menariknya? Karena kecelakaan itu mengakibatkan enam orang meninggal dunia dan sembilan orang dirawat di rumah sakit.

Mereka tak cukup mengerti mengapa anak baru berusia 13 tahun dengan leluasa keluar rumah membawa mobil dan bebas kencan dengan kekasihnya. Usia yang setara dengan pelajar SMP kelas satu. Bagi kebanyakan orangtua, anak seusia itu sangat tidak lazim untuk melakukan kencan. Meskipun memang ada banyak survei yang menyebutkan banyak anak-anak remaja telah terjebak pada pegaulan seks bebas.

Keheranan itu terjawab dengan adanya konfirmasi keluarga Dhani yang menyebutkan pihak keluarga tidak pernah mengizinkan Dul keluar rumah membawa mobil sendiri. Tapi, pada malam nahas itu, sang sopir yang biasa mengantarkan Dul sedang libur.

Tapi, diskusi pagi itu tetap saja tidak membenarkan alasan tersebut. "Ah bisa saja itu alibi keluarga," komentar jemaah salat Subuh. "Itu alasan agar Dul atau Dhani bebas dari jeratan hukum."

Seperti diketahui, belakangan Dul dijerat dengan Pasal 310 UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Statusnya pun menjadi tersangka.

Sang Ustaz memberi prespektif lain soal bagaimana Dhani memperlakukan anaknya seteleh bercerai dengan Maiya Estianti, ibu kandung Dul. Menurutnya, setiap orangtua yang hidup dengan gelimang harta, sangat mudah terjebak untuk memberi banyak fasilitas kepada anak-anak. Terlebih waktu yang disediakan orangtua, ayah atau ibu, untuk anak-anak sangat sedikit. Bahkan untuk sekadar bertanya sudah salat atau belum, sudah makan atau belum, PR sudah dikerjarakan atau belum pun tak ada. Orang tua dengan aktivias padat di luar rumah lebih banyak menjanjikan hadiah ketimbang mengajarkan salat atau bersedekah. "Barangkali itu bentuk kasih sayang, atau kompensasi karena tidak bisa bersama dengan anak-anak. Dan ketika kita dalam posisi seperti Dhani, punya banyak harta, bisa saja kita akan melakukan itu, karena ingin membahagiakan anak."

Sang Ustaz tidak sedang membela Dhani, tapi melihat kenyataan bahwa manusia lebih mencintai dunia, harta, istri, anak-anak, jabatan, ketimbang mencintai Allah SWT. Buktinya, banyak anak bukati, wali kota, gubernur, dan bahkan menteri, berpilaku sama seperti anak Dhani. Artinya, orang miskin tak perlu heran dengan yang demikian, karena fitrah orang memiliki jabatan dan berlimlah harta akan cenderung demikian. Mengapa banyak orang melakukan korupsi? Satu dari sekian banyak alasan, bisa jadi karena anak. Mereka ingin membahagiakan anak dengan banyak harta. Atau ketakutan anak akan hidup sengsara kelah kalau tak punya banyak harta.
Mereka yang istikomah menempatkan cinta dunia setelah cinta kepada yang pemipik jiwa, hanyalah sebagian kecil. Tidak banyak jumlahnya.

Soal cinta yang berlebihan pada anak-anak, Allah SWT telah mengingatkan kita dalam peristiwa nabi Ibrahim dan anaknya Ismail. Allah SWT memerintahkan Ibrahim menyembelih Ismail. Padahal, Ibrahim sedang sangat bergembira setelah beratus tahun menunggu kelahiran sang anak. Allah SWT kemudian menggantinya dengan seekor domba, karena ketaan keduanya atas perintah Allah. Peristiwa itu bisa dimaknai bahwa Allah SWT tak menginginkan manusia terlena dengan yang dimilikinya dan melupakan Tuhan. Karena yang demikian akan membawa dalam kesesatan. Allah sebaik-sebaiknya tempat untuk kembali. (*)

Wali Kota Sejati


Menjadi wali kota? Mengapa tidak. Anda boleh-boleh saja menjadi wali kota. Bahkan banyak orang mengidamkannya. Menjadi wali kota juga bukan pekerjaan dosa, tetapi mulia. Balasannya adalah syurga, karena amanah adalah tiketnya.

Warga Kota Bandung akan memilih wali kota, pemimpin mereka selama lima tahun ke depan. Sejumlah pasangan telah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bandung. Siapa mereka? Ada delapan pasangan, Wawan Dewanta-Sayogo (independen), Wahyudin Karnadinata- Tonny Apriliani (independen), Budi Setiawan-Rizal Firdaus (independen), Bambang Setiadi- Alex Tahsin (independen), Edi Siswadi -Erwan Setiawan, Iswara-Asep Deddy, Ayi Vivananda- Nani Rosada, dan Ridwan Kamil-Oded M Danial.

Anda menginginkan wali kota yang seumpama dengan siapa? Kalau saya inginnya Kota Bandung nanti dimpimpin wali kota yang watak dan kinerjanya seumpama Salman Al Farizi, wali kota sebuah darah di Madinah, yang juga sahabat rasulullah Muhammad SAW.

Tentu saya punya alasan. Alasan yang amat mendasar dan jarang sekali dilakukan oleh para pemimpin di era modern ini, yakni tanggung jawab dan amanah. Sebuah kisah menceritakan, Salman akhirnya menerima jabatan wali kota setelah merenung lama. Ia menerima jabatan itu, tapi menolak menerima gajinya. Lalu dari mana dia menghidupi diri dan keluaranya? Tanpa rasa malu, dia menganyam daun pohon kurma untuk dibuat bakul atau keranjang. Lalu dijualnya seharga tiga dirham. Satu dirham dibelanjakan kembali untuk modal, satu dirham untuk menghidupi keluarganya, dan satu dirham lainnya disedekahkan. Cara berpakainnya pun sederhana. Demikian dengan rumahnya. Malah, ketika membangun rumah ia meminta kepada tukang batu untuk membangun sederhana saja.

"Tolong untuk membangun rumah saya jangan terlalu mewah, cukup yang sederhana saja," pesan Salman kepada tukang batunya.

Lalu bagaiaman dia memimpin rakyatnya? Dia memimpin dengan tauladan. Suatu ketika, ia menjumpai seorang laki-laki Suriah membawa sepikul buah Tin dan Kurma. Barang-barang itu terlalu berat untuk dipikulnya sendiri. Orang itu melihat ada laki-laki yang tampak seperti warga biasa dan berniat meminta bantuannya untuk memikul barang-barangnya.

Tanpa banyak bicara Salman langsung mengangkat dan berjalan bersama di tengah keramaian. Di perjalanan, dia menjumpai sekelompok orang dan memberi salam. Mendengar jawaban dari banyak orang, orang Suariah itu kebingungan. Sampai dia akhirnya mengetahui kalau orang yang mengangkat sepikul Kurma itu adalah seorang Amir di Madinah, dari orang-orang yang meminta menggantikan tugasnya mengangkat sepikul Kurma. Laki-laki Suriah itu gugup dan meminta maaf. Tapi, Salman tetap mengantarnya hingga sampai tujuan.

Apakah wali kota Bandung nanti akan seperti Salman? Ongkos politik untuk merebut menjadi penguasa Kota Bandung tidak murah. Mereka butuh ongkos untuk membuat sepanduk, membayar tim sukses dan pendukung, ongkos kampanye, ongkos mondar-mandir di sejumlah kegiatan warga, ongkos menjamu relasi, dan banyak ongkos lain yang akan menguras harta kekayaan. Akal sehat mengatakan sulit mendapati yang sedemikian lurus mengingat ongkos politik yang begitu bejibun besarnya.

Silakan saja mengambil hak gaji dan tunjangan, tapi uang rakyat jangan. Uang rakyat kembalikan ke rakyat untuk perbaikan jalan, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan fasilitas publik lainnya. Sebagai warga Kota Bandung saya tetap yakin akan ada pemimpin yang amanah dan mengesampingkan kepentingan pribadi dan keluarganya. Karena saya yakin mereka tidak ingin dicap sebagai wali kota gagal yang tak bisa membereskan kemacetan, semrawutnya pedagang kaki lima (PKL), dan pengembang nakal yang membangun di daerah resapan air dan kawasan terlarang. Rakyat akan membantu dan tatat kepada wali kota yang benar-benar bersih dan ingin melayani rakyatnya, bukan menjadi raja. Karena yang demikian adalah wali kota sejati. (*)

Selasa, 19 Maret 2013, 5:42:56 sore

Sunday, May 19, 2013

Caleg Ngapusi, Coret!

Berapa biaya menjadi seorang anggota dewan yang terhormat? Anda jangan melonggo kalau ternyata ongkos menjadi wakil rakyat bisa mencapai Rp 1 miliar. Itu biaya paling minim bagi mereka yang hendak menjadi wakil rakyat di pusat, DPR.

Ongkos untuk anggota dewan di daerah besarannya variatif, mulai dari Rp 300 juta sampai Rp 500 juta. Bahkan bagi mereka yang rajin melakukan kegiatan di lapangan, ongkosnya bisa lebih besar lagi. Anda yang rakyat kebanyakan tidak usah melongo. Bagi mereka uang bukan perkara yang sulit. Kalaupun harta kekayaan tidak cukup, demi menjadi wakil rakyat mereka bakal rela berutang ke sana ke mari.

Memangnya untuk apa uang sebanyak itu? Banyak kegiatan yang memerlukan biaya tinggi, di antaranya melakukan kunjungan ke daerah yang diwakili, sosialisasi, ongkos kegiatan sosial, biaya kampanye, dan yang paling banyak menyedot uang adalah membayar saksi di tiap tempat pemungutan suara (TPS) ketika pemilihan berlangsung.

Wakil Bendahara Umum Partai Golkar yang juga anggota DPR Bambang Soesatyo menyebut ongkos saksi kisaran Rp 50 ribu hingga Rp 100.000. Kalau dalam satu daerah pemilihan ada 5.000 sampai 10.000 TPS, berapa banyak uang yang harus disediakan oleh seorang calon anggota legislatif (caleg)? Silakan Anda hitung sendiri.

Di Indonesia, operasional partai memang belum bisa mandiri. Hampir semua ongkos kegiatan operasionalnya dibiayai oleh negera dan anggotanya, termasuk mereka yang mewakili Anda di gedung dewan. Karena tidak mandiri, maka para anggota dewan rawan melakukan penyimpangan.

Untuk apa? Untuk membantu keuangan partai dan mengembalikan ongkos politik yang membuat Anda melongo itu. Orang alim yang beruntung menjadi wakil rakyat kemudian menjadi koruptor bukan sesuatu yang rahasia. Anda bahkan bisa jadi sulit menghitung berapa banyak anggota dewan yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena tersandung kasus korupsi.

Sekadar mengingatkan, KPK pernah menetapkan anggota DPR karena dugaan penyimpangan proyek pengadaan Al Quran di tahun 2012. Di tahun yang sama, KPK juga menjadikan mantan puteri Indonesia yang juga anggota DPR menjadi tersangka proyek wisam atlet SEA Games di Sumatera Selatan dan poyek di Kemendikbud. Kasus ini kemudian menyeret banyak anggota dewan menjadi tersangka, termasuk ketua partai penguasa negeri ini. Belakangan yang paling mengejutkan ada presiden partai yang juga anggota DPR ditangkap KPK karena tersangkut kasus dugaan suap impor daging. Berita penangkapan presiden partai berasas Islam ini mengejutkan karena sama sekali tak terprediski. Anda bisa jadi marah karena sangat berharap beliau bisa banyak melakukan perubahan di tengah-tengah banyaknya isu korupsi. Nyatanya?

Wakil rakyat di daerah yang kemudian berlabel narapidana juga tidak sedikit. Kalau ditelusuri, relasi antara biaya politik tinggi dan penyimpangan di gedung dewan mungkin akan ketemu.
Di laman tempo.co, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute Hanta Yuda menyatakan, tingginya biaya politik Pemilu 2014 bakal berdampak pada korupsi politik di Indonesia. Ongkos politik, kata Hanta, wajib dibatasi dan dipantau oleh pemerintah.

"Banyak motif yang melatarbelakangi calon anggota legislatif mau menggelontorkan uangnya. Mereka paham partai butuh uang banyak," ujar Hanta.Menurutnya, tidak sedikit dari caleg yang berharap uangnya kembali. Ada juga yang ingin mendapatkan akses lebih atas kekuasaan dan status sosial.

Sekarang kita pun sudah amat sulit menemukan baliho, spanduk, atau poster caleg, yang mencantumkan slogan "Jujur, Bersih, dan Amanah." Paling banter menuliskan, "Bekerja untuk Rakyat."

Lalu, apakah tidak ada caleg jujur dan bersih? Tentu saja masih ada. Tapi jumlahnya tidak banyak karena harus bersaing dengan banyak caleg yang punya ongkos politik tinggi. KPK telah banyak memberi pelajaran. Memilih memang tidak mudah, butuh usaha keras untuk menguliti mereka jika tak ingin salah memlih. Jika Anda tak melihat ada niat baik menjadi wakil rakyat, Anda tahu cara menghukumnya. Coret!



Sekolah yang Memerdekakan

Pelajar sekolah dasar belajar di halaman sekolah  


SEORANG lelaki tua dengan kondisi kesehatan yang buruk mengucapkan terima kasih berulang- ulang kepada rekan saya yang seorang jurnalis. Padahal, rekan saya tak banyak berjasa untuknya. Ketika itu, dia hanya menyambangi sebuah sekolah yang meminta anaknya pulang dan tidak diperkenankan mengikuti Ujian Nasional (UN) gara-gara iuran sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) nunggak beberapa bulan. Dia menanyakan sebab pelarangan mengikuti UN dan mengapa pihak sekolah tidak memberikan kelonggaran kepada murid yang mengalami kesulitan keuangan. Padahal, keluarga lelaki tua itu memang layak dibantu. Rumahnya hanya rumah sewaan. Satu kamar dipakai ramai-ramai, termasuk berisi perabot keluarga. Lelaki tua itu tak bisa bekerja karena lama sakit-sakitan. Istrinya hanya buruh mencuci pakaian tetangga. Dan anak-anaknya belum ada yang bisa diandalkan untuk membantu ekonomi keluarga.

Rupanya, setelah cerita ada pelajar dilarang mengikuti UN meluas ke masyarakat, pihak sekolah menyambangi anak didiknya. Mereka berdamai dan meminta Si Miskin kembali ke bangku sekolah. Yah, meskipun dengan beralasan di sekolahnya banyak keluarga dengan kondisi ekonomi serupa yang juga perlu dibantu.

Si Miskin mejadi riang. Mimpinya yang hampir saja mati seolah mendapatkan siraman air. Ia membayangkan, ijazahnya akan membantu mengakhiri kemiskinan keluarganya. Angin syurga kembali berembus. Beberapa hari setelah kembali ke sekolah, ada sebuah keluarga yang bersedia membantu biaya melajutkan pendidikan yang lebih tinggi. Seandainya Si Miskin gagal mengikuti UN gara-gara SPP nunggak, maka ia dan keluarganya tetap akan hidup di bawah garis kemiskinan.

Peristiwa beberapa tahun lalu itu, kemarin terulang kembali. Kemarin Forum Orangtua Siswa (Fortusis) Kota Bandung mendapat banyak aduan orangtua murid yang anaknya terancam tidak bisa mengikuti UN karena belum memegang kartu peserta UN. Gara-granya? Siswa belum membayar uang SPP. Padahal, pelaksanaan UN dengan uang SPP secara langsung tidak berkaitan. UN diselenggarakan secara gratis. Bahkan, penyelenggaraan latihan mengerjakan soal UN sekalipun tidak diperbolehkan menarik pungutan karena akan memberatkan orangtua siswa.

Pada sebuah kesempatan, Irjen Kemendikbud RI, Haryono Umar, mengatakan kebijakan UN gratis masih berlaku. Untuk tahun 2013, pemerintah menganggarkan dana untuk penyelenggaraan UN sebanyak Rp 600 miliar, belum lagi bantuan dari pemerintah daerah. Maka, kalau ada pihak sekolah memungut biaya UN, apakah itu dengan modus uang bensin pengawas, konsumsi penjaga, dan dana kebersihan, orangtua siswa bisa mengkritisinya.

Tentu saja termasuk soal pelarangan karena belum membayar SPP. Pernyataan Umar cukup menjadi alasan orang tua meminta hak anaknya untuk tetap mengikuti UN karena biayanya ditanggung negara, bukan dari SPP. Apalagi untuk pelajar dari keluarga miskin. Tidak elok kiranya, pihak sekolah menakut-nakuti siswa dengan menahan kartu ujian jika belum membayar SPP. Selain bisa jadi karena memang belum ada uang, pihak sekolah mestinya mendukung siswanya agar fokus mempersiapkan diri mengikuti UN, tidak dihadapkan pada masalah yang akan mengganggu konsentrasinya.

Jika nilai UN jeblok dan dinyatakan tidak lulus UN, maka akan merugikan pelajar. Demikian dengan pihak sekolah, karena masyarakat bisa bekesimpulan sekolah gagal mencerdasakan muridnya. Jika anak terguncang jiwanya, maka ia akan mengurung diri, malu, dan merasa tidak berguna. UN persamaan (ujian paket C) atau mengulang tahun berikutnya sulit mengembalikan kepercayaan dirinya. Jika ini terjadi, maka sekolah turut andil menciptakan generasi yang lemah, rentan terjebak pada lingkungan yang buruk, dan mematikan cita-citanya. Anda pasti masih ingat banyaknya pelajar yang jiwanya terguncang dan melakukan bunuh diri karena malu tidak lulus UN. Apakah Anda tidak trenyuh mendapati berita demikian?

Ada baiknya, pihak sekolah bisa memahami dan memberi kelonggaran bari mereka yang benar- benar belum bisa melunasi tunggakan SPP. UN adalah syarat utama bagi mereka mendapatkan ijazah. Meskipun tak menjadi jaminan akan memperbaiki kehidupan seseorang, ijazah menjadi impian pada pelajar meniti masa depan dengan lebih leluasa, mencari pekerjaan atau melanjutkan pendidikan. Sekolah bukan penjara, tapi tempat yang mencerdasakan dan memerdekakan. (*)