![]() | |||||
Pelajar sekolah dasar belajar di halaman sekolah |
Rupanya, setelah cerita ada pelajar dilarang mengikuti UN meluas ke masyarakat, pihak sekolah menyambangi anak didiknya. Mereka berdamai dan meminta Si Miskin kembali ke bangku sekolah. Yah, meskipun dengan beralasan di sekolahnya banyak keluarga dengan kondisi ekonomi serupa yang juga perlu dibantu.
Si Miskin mejadi riang. Mimpinya yang hampir saja mati seolah mendapatkan siraman air. Ia membayangkan, ijazahnya akan membantu mengakhiri kemiskinan keluarganya. Angin syurga kembali berembus. Beberapa hari setelah kembali ke sekolah, ada sebuah keluarga yang bersedia membantu biaya melajutkan pendidikan yang lebih tinggi. Seandainya Si Miskin gagal mengikuti UN gara-gara SPP nunggak, maka ia dan keluarganya tetap akan hidup di bawah garis kemiskinan.
Peristiwa beberapa tahun lalu itu, kemarin terulang kembali. Kemarin Forum Orangtua Siswa (Fortusis) Kota Bandung mendapat banyak aduan orangtua murid yang anaknya terancam tidak bisa mengikuti UN karena belum memegang kartu peserta UN. Gara-granya? Siswa belum membayar uang SPP. Padahal, pelaksanaan UN dengan uang SPP secara langsung tidak berkaitan. UN diselenggarakan secara gratis. Bahkan, penyelenggaraan latihan mengerjakan soal UN sekalipun tidak diperbolehkan menarik pungutan karena akan memberatkan orangtua siswa.
Pada sebuah kesempatan, Irjen Kemendikbud RI, Haryono Umar, mengatakan kebijakan UN gratis masih berlaku. Untuk tahun 2013, pemerintah menganggarkan dana untuk penyelenggaraan UN sebanyak Rp 600 miliar, belum lagi bantuan dari pemerintah daerah. Maka, kalau ada pihak sekolah memungut biaya UN, apakah itu dengan modus uang bensin pengawas, konsumsi penjaga, dan dana kebersihan, orangtua siswa bisa mengkritisinya.
Tentu saja termasuk soal pelarangan karena belum membayar SPP. Pernyataan Umar cukup menjadi alasan orang tua meminta hak anaknya untuk tetap mengikuti UN karena biayanya ditanggung negara, bukan dari SPP. Apalagi untuk pelajar dari keluarga miskin. Tidak elok kiranya, pihak sekolah menakut-nakuti siswa dengan menahan kartu ujian jika belum membayar SPP. Selain bisa jadi karena memang belum ada uang, pihak sekolah mestinya mendukung siswanya agar fokus mempersiapkan diri mengikuti UN, tidak dihadapkan pada masalah yang akan mengganggu konsentrasinya.
Jika nilai UN jeblok dan dinyatakan tidak lulus UN, maka akan merugikan pelajar. Demikian dengan pihak sekolah, karena masyarakat bisa bekesimpulan sekolah gagal mencerdasakan muridnya. Jika anak terguncang jiwanya, maka ia akan mengurung diri, malu, dan merasa tidak berguna. UN persamaan (ujian paket C) atau mengulang tahun berikutnya sulit mengembalikan kepercayaan dirinya. Jika ini terjadi, maka sekolah turut andil menciptakan generasi yang lemah, rentan terjebak pada lingkungan yang buruk, dan mematikan cita-citanya. Anda pasti masih ingat banyaknya pelajar yang jiwanya terguncang dan melakukan bunuh diri karena malu tidak lulus UN. Apakah Anda tidak trenyuh mendapati berita demikian?
Ada baiknya, pihak sekolah bisa memahami dan memberi kelonggaran bari mereka yang benar- benar belum bisa melunasi tunggakan SPP. UN adalah syarat utama bagi mereka mendapatkan ijazah. Meskipun tak menjadi jaminan akan memperbaiki kehidupan seseorang, ijazah menjadi impian pada pelajar meniti masa depan dengan lebih leluasa, mencari pekerjaan atau melanjutkan pendidikan. Sekolah bukan penjara, tapi tempat yang mencerdasakan dan memerdekakan. (*)
No comments:
Post a Comment