Saturday, June 21, 2008

Menjaga Hati........

SEMINGGU belakangan, Lia, adek perempuanku di Bandung pojok utara sana, tangannya terus-terusan pegang batok kepala. "Pusing nech." Ceh ileh pusing, emang napa. Kerjaan kamu selama ini bukannya kuliah, maen trus ngadem di rumah berjam-jam. Kok pusing.Pacar kamu ngambek? Minta putus? Atau pengin cepat-cepat kawin?"Nggak lah. Lia pusing karena seminggu yang lalu ada orang nembak?"Pingsan dong? Bagian mana yang robek kena peluru. Pertanyaan kok gak nyambung pisan seh.

Maksud perempuan ini adalah ia baru saja dapet tawaran seorang pria seumuran untuk jadi pacarnya. Dan yang paling "nggilani" pria itu nggak mau ngerti penjelasan Lia, kalau ia sudah punya gandengan. Ibarat pejuang kemerdekaan '45, ia make semoyan "Rawe-rawe rantas, malang-malang putung, maju terus pantang mundur." Kalau saja waktunya sejaman dengan "Si Naga Bonar dari Medan" itu. Boleh lah semboyan itu dipakai. Cuman ia bakalan malu, si Naga saja menunda kawin gara-gara musti berjuang agar daerahnya tak diambil sama Kompeni, eh ini orang malah pengin asyik sendiri, pacaran (Gak nyambung juga ya? emang ini tulisan ngawur kok, hehehe....).

Kalau cerita yang ini, lha ya beda kontek atuh. Betul, Cinta itu soal hati. Makanya, sah saja jika pria ini terus-terusan jatuh cintrong. Halal malah. Lagi-lagi kerna cinta itu soal hati. Tapi, perempuan yang selalu membayangi tidurnya itu sudah jadi tambatan hati pria lain. Nach kalau udah begini, kalau dipaksain bakalan sakit. Bakalan ada yang tersakiti. Kamu atau dia.

"Makanya bingung, dianya nelpon terus. Dikasih tahu juga kagak bisa ngerti."

Bingung? Ini yang salah ama Lia. Kalau ngakunya udah punya pacar, dan sudah berikrar sehidup semati, trus kenapa musti bingung. Kalau pun kemudian pria itu tak mau mengerti, ya biarkan saja untuk terus hidup dengan cintanya. Lha wong mencintai itu lebih baik daripada membenci. Bukan salah kamu. Yang salah jika kamu kemudian memanfaatkan dia, tidak tegas dan akhirnya seolah-oleh dia mendapatkan peluang untuk menambatkan rasa itu.

"Nggak lah kak, enak aja manfaatin."

Iye, aku juga ngerti. Tak semudah itu bagi kamu untuk meninggalkan cinta yang selama ini udah dibangun sejak dua tahun lalu. Sejak SMA malah. Cuman inget nech, ini soal terori cinta yang kadang-kadang bener. Cinta kamu itu jauh. Ketemu juga nggak mesti sebulan, dua bulan, setahun malah. Cinta biasa itu butuh pengertian, butuh perhatian, butuh sentuhan, butuh bicara (Nelopon kan bisa), butuh guyon (Kan bisa SMS), butuh ditanya, butuh yang lain. Ini semua dalam rangka menjaga cinta agar tetap tumbuh subur hingga kapanpun. Harus? Iya, karena cinta itu soal emoi. Kadang datang dan kadang pergi. Untuk merekatkan agar tidak pergi butuh itu.Maka, cinta yang jauh kalau tak pandai memenej-nya, bisa goncang juga. Kata orang itu namanya Jablai (Jarang dibelai). Makanya, begitu datang perhatian yang berlebih, cinta itu bisa saja beralih.

Untuk cinta luar biasa, hanya butuh trust, pengertian dan keterbukaan. Yah, semoga saja cintamu itu termasuk yang luar biasa. Tak perlu sentuhan, tak perlu ditanya, tak butuh banyak canda. Cukup dengan trust dan pengertian. Percaya, bahwa si cinta, meskipun jauh tapi dia tetap sayang, tetap cinta, tak mendua, dan tetap menjaga hati. Pengertian, kalau dia tak banyak bicara (nelpon) berarti dia sibuk atau tak ada pulsa buat ngobrol. Kalau dia lama nongol di YM, berarti komputernya jebol. Terbuka, terbuka untuk menceritakan apa saja. Dengan begitu, kalian tak akan ada perasaan curiga.Jadi, pertanyaan bingung dan pusing karena ditembak ama pria lain, sudah terjawab. Kalau Lia benar-benar cinta dan tak ingin mendua, anggap saja pria yang datang itu sebagai ujian kesetiaan cinta.

"Tapi pengin dua." Hayah...kalau ini namanya cari penyakit.

Nich aku kasih tips singkatnya buat Lia yang pacaran long distance,
- Jadikan jarak bukan suatu masalah- Kepercayaan di atas segalanya
- Usahakan selalu berkomunikasi
- Isi waktu kesendirian dengan hal bermanfaat
- Selalu kirim foto terbaru, biar rsa kangen itu terobati
- Saling berkunjung, kalau dia gak bisa dateng ya kamu yang dateng. Misal, pas libur kuliah.
- Berantem tak berarti putus! Jarak jauh bukan berarti tanpa berantem, tapi kalau berantem jangan kelamaan.

Tuesday, June 10, 2008

"Cintaku Sederhana Saja............"

TANGAN kananku menggengam kuat pada gas sepeda motor, yang tempo hari baru lunas. Aku sedang bertarung dengan waktu untuk sampai di sebuah rumah kos di komplek Daarut Tauhid, Geger Kalong. Jarak tempuh dari tempat kosku di Jalan Terate, kira-kira 20 menit. Belum lagi kalau jalanan di Setiabudi dimakan habis oleh kendaraan berkaki empat. Tentu genggaman tangan kananku akan melemah, berkompromi dengan keadaan. Jadi, bisa saja aku kalah bertarung dengan waktu.

Senin pagi itu, aku terlambat bangun. Mataku terasa begitu lelah. Malam sebelum Senin, aku piket kantor hingga larut. Tubuhku terkulai, malam membawaku ke alam gelap. Semakin tak sadar karena selimut loreng menutupi tubuhku. Angka di ponselku menunjukkan angka 7.30, usai aku terima telepon dari Zaman."Or jangan lupa datang ya, bawa kameranya. Awas jangan telat," Zaman mengingatkan.

Untung jalanan di Setiabudi tak seramai saat weekend datang, karena pagi itu adalah hari Senin. Aku lebih leluasa mengendalikan si kuda besiku yang nampak terengah-engah. Mungkin karena sudah hampir sebulan ini belum diberi gizi oli Federal. Nanti saja lah, aku harus cepat sampai di Geger Kalong. Zaman menunggu di sana. Hampir jam 8.30 aku sampai di rumah kos, yang sebentar lagi menjadi tempat pesta pernikahan sederhana. Aku menyandarkan sepeda motor, lalu menjabat tangan Zaman yang dingin. Ia mengenakan kemeja koko warna putih dengan sedikit bordiran. Celana panjang warna krem menjadikan Zaman tampak elok.

Belum banyak orang di sana. Baru ada seorang pria berumur duduk di kursi goyang. Sang calon pengantin, Rio Marlina masih berada di dalam kamar. Dia masih berdandan, sebagai persembahan pada sang suami yang paling dikasihi. Tak lama kemudian, ibunda Zaman besama tiga putranya datang membawa bingkisan. Suasana di dalam ruang keluarga, berukuran sekitar 6x7 meter, menjadi lebih hangat. Ada air mineral, puding, dan beberapa jenin jajanan pasar dengan rasa mengundang selera (Pasti, lha aku iki durung sarapan kok. Jadi laper ya?).

Seorang perantara dari Kantor Urusan Agama Geger Kalong, datang. Zaman yang sudah mengenalnya kemudian menyambutnya. Ada kabar penting yang akan disampaikan ke Zaman. "Nanti ijabnya di KUA saja, biar lebih aman. Dekat kok, dari sini lurus terus, belok kiri, masuk ke KPAD," pria itu memberi petunjuk."Iya, kang."
Rencana berubah. Semula acara akad nikah akan berlangsung di rumah kos. Dengan alasan keamanan, prosesi itu dipindahkan ke KUA Geger Kalong. Keluarga Zaman dan keluarga angkat Rio berdiskusi. Tak ada masalah, karena ada beberapa keluarga yang ternyata membawa mobil.

Jarum jam di dinding ruangan itu menunjuk angka 8.50. Sesuai jadwal, akad akan dilakukan pada pukul 9. Tapi, Bang Mukmin yang akan menjadi wali Rio belum kelihatan perut buncitnya. Mungkin ia sedang beradu dengan kemacetan. "Dah sampai mana bang? Gazibu. Oh ya. Ditunggu bang." Zaman nampak gelisah. Tepat jam sembilan mestinya ia sudah mengucapkan, "Aku terima nikahnya Rio......" Obrolan ringan mengalihkan perhatiannya pada sebuah penantian yang hanya tinggal sesaat. Hawa dingin, membuat kami sering ke luar masuk jamban. Kalau dihitung, Zaman udah lebih dari sepuluh kali loh. Dingin, atau dah kagak tahan nech?

Bang Mukmin akhirnya datang dengan mobil warna merah. Kami segera meninggalkan rumah kos menuju KUA Geger Kalong. Aku sudah siap dengan kamera SLR Canon pinjaman wartawan Kompas. Aku tak bisa memberikan sesuatu yang lebih, keculai mengabadikan peristiwa itu dalam bentuk gambar. Semoga menjadi kenangan amat terindah, seumur hidup. Aku mendahului pasangan calon pengantin, Zaman dan Rio. Mataku tajam, mengintip ruang kecil di balik kamera SLR. "Cret....cret....cret." Beberapa peristiwa sudah aku abadikan.

Saatnya menyimak peristiwa penting dalam sejarah kehidupan teman baikku. Zaman duduk sejajar dengan Rio. Zaman mengenakan kemeja koko dan Rio mengenakan gaun pengantin sederhana, wana putih lengkap dengan kerudungnya. Sederhana yang indah dan penuh bunga cinta. Jauh dari gemerlap kemeriahan pernikahan di dalam gedung-gedung di Bandung, yang sering kami singgahi. Jauh dari keramaian pengunjung yang biasanya menjadikan kami harus antri saat perut ini sudah keroncongan. Jauh dari dentuman sura speaker atau pijatan organ tunggal. Tak ada penyanyi dangdut atau tembang sunda di sana. Semua serba sederhana.

Aku terharu. Sebuah pernikahan yang tidak biasa. Aku senang melihatnya. Sebuah pembuktian pertanyaan dalam kepalaku saat pertama kali aku mengenal perempuan dan memacarinya, beberapa tahun silam. Aku menginginkan sebuah pernikahan sederhana dan murah. Bukan sebuah angan. Pernikahan muran itu ada.
"Or, aku mau nikah. Modalnya cuman Rp 3 juta, patungan sama Rio," Zaman bercerita kepadaku seminggu sebelum hari itu.

Aku dan Zaman punya pemikiran sama. Pernikahan agak mahal di dalam gedung dengan gaun pengantin mahal, sangat tidak dilarang. Tapi, menurut kami, bila kami ada uang lebih, akan sangat berguna untuk kelangsungan kehidupan di masa mendatang. "Kan bisa buat nyicil rumah," kami sepakat dengan kalimat itu. Pernikahan sederhana, sesederhana cinta mereka. Mereka menyederhanakan berbagai persoalan besar yang sebenarnya sedang menimpa mereka. Kalau bukan Rio, mungkin sudah masuk Jalan Riau 11 (Aku tak bisa menceritakan begitu banyak penderitaan yang dialami Rio).

Tak banyak yang diminta olehnya pada Zaman. Rio tahu bahwa komitmen cinta Zaman tak harus dibuktikan dengan barang-barang mewah. Cukup dengan kejujuran dan penghormatan atas hak perempuan. Maka, kesetiaan Rio pun tak perlu diminta. Dengan sendirinya, ia sadar bahwa sejak kata Cinta itu terucap adalah saatnya kesetiaan itu diberikan. Sebalinya Zaman. Ia dengan sabar mengatar dan menjemput Rio ke sekolah. Tak banyak yang ia minta dari Rio. Cukup dengan sedikit perhatian dan pertanyaan, "Aa sudah makan, Aa jangan lupa Shalat, Aa jangan kentut sembarangan lagi ya." Sangat sederhana. Namun, nampak indah bukan? Tak seperti cinta kebanyakan, yang saling menuntut. Kejujuran dan pengertian diberikan ketika iangat. Kalau lupa? Caci maki menjadi bumbu yang paling tak sedap.

Aku kembali mengintip kamera SLR. Rio menyimak tausiah pak penghulu. Zaman manggut-manggut. Orang-orang di belakang mereka ikut menyimak. "Horamti orang tua dan jangan pernah tinggalkan shalat," Penghulu kemudian memulai momen penting dalam sebuah pernikahan, akad nikah. Dan akhirnya Zaman menguncapkan "saya terima nikhanya Rio binti......dengan mas kawin 5 gram cincin emas." Aku jadi ingat guyonan aku pada seorang teman perempuan di kantor. Aku penah bilang "mas kawin aku Rp 500 ribu ajah. Mau gak yah?" Dan aku terus-terusan ditertawakan. Dan aku tetap pada guyonanku, "mas kawinku nggak bisa aku naikin, tetep Rp 500 ribu, hehehe....." Itu lah Rio. Dia bukan perempuan matre. Ia ikhlas kok, meski hanya 5 gram emas. Yang penting dari semua prosesi itu adalah kelengkapan syarat nikah. Selanjutnya, berdua di kamar melewatkan malam pertama. Sederhana bukan?

Zaman dan Rio kemudian menunjukan buku nikah dan sertifikat pernikahan. Aku menjepretnya berulang-ulang. Di susul jepretan kamera digital dari teman-teman Zaman. Ibu-ibu yang selama ini merasa menjadi orangtua mereka, ikut menjadi lukisan foto yang nanti aku cetak. Sekitar pukul 11.00, kami sudah berada di rumah kos. Kami melanjutkan dengan makan bersama, dan bercengkerama. Satu jam kemudian rumah kos sudah sepi. Aku menepati janjiku, menjadi wedding photografer handal sehari untuk temaku. Aku mengatur mereka, lalu menjepretntya. Selamat menempuh tantangan baru kawan, aku yakin kalian bisa melewatinya. Aku suka dengan pernikahan sederhana dan cinta sederhana kalian. Dan aku mendambakannya. Cinta sedehana, sepertinya dalam syarinya Katon Bagaskara "Cintaku sederhana saja, milik seorang jejaka hijau merekah ketika saatnya berbunga, manis sealun nada, riangku....."