Sunday, May 11, 2008

Titip Salam Buat Pria di Pojok Sana

SORE itu aku pulang ke kantor dengan kulit yang masih basah. Bandung siang itu sungguh panas. Kalau kalian punya mata tajam setajam matanya Super Man dari Amerika sana, pasti akan terlihat lingkaran asap yang perlahan mengurai di atas ubun-ubunku. Lalu bersatu dengan zat lain di udara sana.

Aku mendinginkan tubuhku. Seperti biasa, kursi besi warna merah setengah reot yang menjadi korban. Aku menjatuhkan pantat. Kedua tanganku jatuh di meja yang terisa 10 sentimeter karena dimakan komputer. Komputer tua tanpa kecanggihan zaman milenium. Sungguh amat menjemukan.Putaran kipas yang menggantung di langit-langit ruangan, cukup menyejukan. 1 menit, 5 menit, 10 menit. Aoufhhhhhhhhhhh....segar. Panas yang menguliti tubuhku berkurang.

Aku menggerakkan kedua bahu, lengan dan lembar jemari menggapit kursi. Dadaku tertarik. Lalu kepalaku menyusul mendongak ke atas. Aku tahan beberapa saat. Kemudian aku balikkan seperti semula. Aoufhhhhhhhhhhh....segar. Sekarang sudah sangat siap untuk memijat tuts keyboard komputer. Merekonstruksi semua cerita dan suara yang aku dapat di luaran sana. Opss...Jemariku tertahan. Tanpa kusadari, bola mataku melihat ke pojok ruangan. Ya, di sana. Seorang kawan pria biasanya duduk di kursi paling pojok. Mengetik dengan komputer paling pojok. Dan di pojok sana lah, dia melihat seisi ruangan. Termasuk melihat segala aktivitasku.

Pojok. Karena tempat itu disebut pojok, maka ada dua sisi (papan) yang saling bersentuhan, lalu membentuk sudut. Sudut itulah yang kemudian disebut pojok. Yah....demikian kira-kira definisinya. Di sebelahnya, ada jalan sempit selebar satu meter. Semua orang kantor memakai jalan itu. Ya, ya pasti, pasti memakai jalan itu. Karena di ujung jalan itu ada tiga tempat yang amat penting, toilet perempuan, dapur dan mushala. Jadi, penting kan? Sehari, tiap orang kantor bisa lebih dari 10 kali melewati jalan itu.

Tahu kan bagaimana ekprsesi orang jalan? Bisa diam, bisa tengok kanan kiri, bisa sambil bersiul, bisa sambil lirik kanan kiri, atau sengaja membunyikan lantai dengan hak sepatu, atau membunyikan papan dengan memukulnya. Yach..pokoknya ada seabrek iseng keluar secara tiba-tiba. Kalau bukan mereka, maka pria pojok yang akan bikin iseng. Dari sekian banyak pria di kantor, pria paling pojok itulah yang paling sering kena iseng dan ngelakuin iseng. Iseng disuit-suitin (burung kale), dilirik, sampai ditoel punggungnya.

Responnya juga macem-macem. Bisa seneng, bisa pura-pura seneng, pura-pura diam atau cekikikan sendiri selepas si iseng menghilang. Sering diisengin gak tahan juga. Pria paling pojok pun ikut iseng. Sering main iseng, akhirnya menjadi dekat. Pria pojok berkenalan dengan perempuan iseng. Obrolan singkat pun sering berulang di pojokan sana. Sore itu aku tak melihat pria yang suka duduk di pojok sana. Tak tahu apa yang sedang dilakukan pria itu di luaran sana, hingga terlambat datang ke kantor.

Perempuan yang suka iseng itu melekatkan tubuhnya di papan pojokan sana. Berharap ada pria pojok, hanya sekadar utuk iseng, atau menggodanya. Atau menanam benih cinta? Aku kira juga begitu. Nggak percaya? Neh buktinya.

"Ehch...yang di sini (pria pojok) ke mana?
Kok belum kelihatan?"
"Nggak tahu."
"Kangan?"
"Mnmnnn....hehehhee, nggak kok."
Tapi perempuan itu tetap bertahan. Biasanya, rasa suka itu bermula dari rasa keingintahuan yang berlebih. Hukum itu berlaku untuk masalah apapun, termasuk urusan hati.
"Ingin mengatakan sesuatu?"
"Nggak, salam saja."
"Salam apa?"
"Salam saja, salam buat Fei, sombong....ehemehem...."

Tahu kan artinya salam? Salam itu artinya mendoakan untuk keselamatan orang yang diberi salam. Nah, mana mau kita ucap salam tanpa didasari rasa cinta, keihlasan atau setidaknya ada perasaan nyaman sebagai teman. Dan perempuan itu mendoakan keselamatan pria yang biasa diisengin, karena tak terlihat duduk di pojokan sana. Berawal dari salam, siapa tahu berbalas cinta yang menyejukan. Buat pria di pojokan sana, aku ketitipan salam dari perempuan pemilik senyum renyah. "Salam."

Buat perempuan pemilik senyum riuh, kalau masih mau, berusahalah menumbuhkan cinta dengan keikhlasan. Semoga dengan keiklasan, pria itu akan mengerti dan menghargai ketulusan cinta. Tapi jangan pernah lupakan nasehat sahabat, engkau berhak utuk mencintai dan dia berhak menentukan nasibnya sendiri. Maka, berdoalah kepada yang memberi rasa (Tuhan), utuk menyatukan rasa itu dalam keabadian.