Friday, August 15, 2008

Si Ayu

"Om Toro, sepedanya mana?"
"Di tinggal di kantor," kataku.

Ayu (7), cucu ibu kosku mengira aku akan pulang dari kantor dengan menaiki sepede ontel. Mungkin karena beberapa jam sebelumnya aku pulang dengan menaiki sepeda ontel. Karena saat itu ia juga sedang bermain-main dengan sepeda mininya, kami pun beradu cepat. Cukup hebat. Ia melaju sangat kencang. Okay, aku kalah cepat dengannya.

Sepertinya ia lagi sangat suka dengan sepeda ontelnya. Bisa jadi karena baru dua hari ini ia berhasil menaruh pantatnya di atas sadel (tempat duduk). Tentu setelah melewati masa usaha yang tidak mudah. Mengatur keseimbangan, mengusir rasa takut sampai melupakan rasa sakit saat terjatuh."Hore aku sudah bisa naik sepeda."

Aku kenal anak ini sejak anak ini baru sekolah Taman Kanak-kanak. Dia pintar dan menyenangkan. Anak seusia itu, ia sudah hafal lagu-lagu orang dewasa. Berani berekspresi. Ia juga pintar berimajinasi lalu menvisualkannya. Berbincang layaknya orang dewasa. Keliancahannya semakin aku ketahui saat ia bersama orangtuanya pindah rumah, bergabung dengan rumah neneknya. Tempatnya masih satu komplek dengan tempat kos-ku.

Dasar anak-anak, kadang sifat menyebalkannya juga muncul. Berkali-kali ia usil dengan melempar sandal kotor ke kamarku. Mendobrak pintu saat aku tidur. Mencubit kulit hingga memerah. Berteriak sampai memekakan telinga. Sebagai orang dewasa, aku tak bisa berbuat banyak keculai mengatakan, "Nggak boleh gitu deck!." Sering berbuat menyebalkan, akhirnya aku tak tahan juga untuk tegas. Saat itu, ia mendobrak pintu kamar, padahal aku sedang tak enak badan. Aku berbegas bangun, secepat kilat aku melangkah menuju rumahnya dengan berpura-pura marah.

"Aku bilangin ke mama nech. Kamu nakal."
"Jangaaaaannnnnn....jangaaaaannnnn..."
Aku kembali ke kamar. Dia kembali menmghampiriku dengan mengulurkan tangan kanan.
"Ya udah, aku minta maaf," katanya.
"Janji ya jangan ulangi lagi."
"Janji."

Dasar anak-anak, sikap menjengkelkan kadang-kadang tetap saja masih ada. Lagi-lagi aku harus bersabar. Tapi, kalau ia lagi baik, kebaikannya juga sangat menyenangkan. Pas lagi haus, kadang layaknya orang dewasa ia mengambilkan air dingin dari balik lemari es. Atau, kadang ia mengambilkan sebagian makanan yang sedang dimasak neneknya.

Aku sangat yakin, jika ia tumbuh dalam lingkungan keluarga yang baik, ia akan menjadi gadis yang cantik, pintar dan memiliki prilaku yang beradab. Aku menjadi khawatir ia akan menjadi manusia dewasa yang tidak punya sopan-santun. Apalagi tahu agama. Khawatir karena ia tumbuh dalam lingkungan yang sempit dan jauh dari sentuhan pendidikan agama. Hampir setiap hari ia bermain sendiri. Maklumlah, hidup di tengah kota. Kebanyakan orang tidak akan berani mengambil resiko berlebih. Maka, tempat berinteraksi sosialnya pun hanya sebatas gerbang rumah. Itu pula, mungkin yang menyebabkan ia sering menggodaku dengan kelakukan menyebalkan. Atau sebalinya, memvisualkan imajinasi berbuat baik seperti tontonan yang ia liat dalam layar kaca.Aku khawatir ia tidak mengenal nilai-nilai manusia sosial, karena khidupan sosialnya tak terpenuhi.

Dan yang paling mengkhawatirkan, ia sering bergaul dengan orang-orang setua ayah dan ibunya. Bila mereka kelompok orang dengan prilaku baik, tidak lah masalah. Sayangnya, mereka adalah para orang dewasa dengan kebiasaan merokok, kongkow, lalu mabuk. Menjadi aneh karena ayah dan ibunya bergabung dalam situwasi itu. Sementara Ayu masih bermain-main di sana.

"Mabuk di hadapan anaknya."

Itu aku ketahui setelah Ayu menyapaku dan memintaku beramin sepeda."Om main sepeda lagi yuk! Eh...lagi pada mabuk, di sana ada botol," kata dia.Aku yakin yang dikatakan bocah itu tidak salah. Alasanku karena apa yang ia visualkan berdasrkan apa yang ia liat. Pernah suatu hari ia menaiki kursi dengan kaki-kaki yang tinggi layaknya kursi di bar. Ia kemudian mendeskripsikan tempat dan kebiasaan orang-orang di bar. Pas aku tanya, dari mana pengetahuan itu ia dapat. "Kan Ayu sering liat, di film-film."Wah...anak seumur dia sudah tahu situwasi di dalam tempat-tempat untuk mabuk.

Anak adalah anugerah Allah SWT, tempat kita meneruskan cita-cita dan garis keturunan. Anak juga merupakan amanah, titipan harta yang paling berharga yang harus dijaga, dirawat dan dididik agar menjadi penyejuk hati. Dalam persoalan ini, kita harus meneladani sikap Nabi Zakaria AS dan Nabi Ibrahim AS. Kedua Nabi ini senantiasa berdoa kepada Allah Maha Pencipta. “Ya Rabbana, anugerahkanlah kepada kami, pasangan dan keturunan sebagai penyejuk hati kami. Jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS 25:74).

Ayu, semoga kelak engkau menjadi orang dewasa yang baik, tidak seperti yang aku khawatirkan. Amin...