SEORANG perempuan selalu bertanya begitu, sesaat setelah saya diam. Apa saya ini
tak boleh diam, memikirkan sesuatu yang mengawang dalam pikiran saya. Apakah
diam harus selalu berarti marah. Tidak teman. Marah sudah ada dalam diri manusia.
Tapi, apakah tidak boleh kalau saya berusaha untuk menggantinya dengan diam sesaat.
Sudah sejak lama saya berusaha menggati marah dengan senyum, meski ketika datang
ke Kota Bandung sifat yang muncul karena "keakuan itu" terusik. Maka, saya memilih
diam untuk merenungkan setiap peristiwa pahit yang melintas di hadapan muka saya.
"Boleh jadi saya lah yang keliru, maka, tak ada alasan saya untuk marah."
Saya merasa Kota Bandung tak seramah Purwokerto. Loh kok? Saya melihat orang-orang di kota ini dengan mudahnya mengumpat dengan umpatan "ajing yang goblok" ketika sebuah peristiwa menjadikan seseorang menjadi tidak nyaman. Saya kira hanya orang-orang dewasa yang bisa melakukan itu. Ternyata tidak. Bocah-bocah yang masih duduk di bangku sekolah dasar pun sudah sering mengolok dengan umpatan itu. Bandung menjadi tak nyaman, tentu wajar karena Kota Bandung jauh lebih ramai, lebih luas dan wajar pula karena Kota Bandung adalah ibukota Provinsi Jabar.
Karena kebesaran nama kota ini, orang pun mengira Bandung layaknya negeri Paman
Sam yang banyak memberikan harapan bagi orang kampung. Dan kemudian muncul
belief yang memahkotai Paman Sam sebagai "American Dream."Keliru, Bandung bukan Amerika. Meski tanahnya subur dan kaya, tapi pemimpinnya terbisa korup. Menjadi semakin rusak karena masyarakatnya masa bodoh. Maka, pembangunan pun bukan didasarkan pada kepentingan masyarakat, melainkan didasarkan pada pertimbangan seberapa banyak keuntungan yang akan masuk ke saku pemimpin.
"Percuma saya bicara dengan pemerintah. Selesai menyampaikan pemikiran saya (yang
berseberangan), para preman akan mendatangi saya. Pemerintah lebih berpihak kepada
kontraktor ketimbang para akademisi," keluh seorang professor bidang planologi di
sebuah perguruan tinggi di Bandung kepada saya.
Karena pembangunan yang dilakukan berdasarkan proyek, maka terjadi banyak
kerusakan di mana-mana. Jalan bertambah macet karena SPBU bertebaran di tengah
kota. Air meluap membanjiri jalan-jalan di kota karena gorong-gorong tak lagi mempu
menampung air dan tanah terbuka habis menjadi beton. Gelo. Itu mengapa hawa di kota ini semakin hari semakin panas. Demikian dengan masyarakatnya. Simpati dan empati seolah hampir ludes termakan ego. Ego yang membakar diri, karena merasa paling benar atau kerena berkuasa. Dan orang pun menjadi gampang marah.
Saya tak mau ikut-ikutan. Biarkan marah menjadi milik orang lain. Biarkan hati ini
sejuk, persis ketika Bandung tempoe doeloe saat pohon-pohon memagari cekungan
Bandung dan sungai meliuk di tengahnya. Sangat sejuk.Tahukan engkau kawan, sifat benci, marah dan iri hati adalah tiga sekawan yang lahir dari kemelekatan dan keakuan. Bila ketiganya ini dimiliki oleh seseorang, maka jadilah dia orang yang paling menderita karena ketegangan dan frustasi. Rasa benci adalah pembunuh kegembiraan yang paling besar, tidak ada kegembiraan maupun ketenangan di hati mereka yang memiliki rasa benci.
Saya ingin seperti Mahatma Gandhi. Ia tak membalas setiap kebencian dengan
kebencian, melainkan dengan diam dan cinta kasih. Ia adalah pelopor perjuangan cinta
kasih (Swadesi), dengan tanpa kekerasan memboikot industri inggris dengan
memajukan cinta kasih. Meskipun cinta kasih itu tak selalu terbalaskan oleh keihlasan
cinta. Kebencian telah menyebabkan seseorang menembak Mahatma Gandhi dengan
senapan sehingga peluru menembus dadanya. Tahukan engaku kawan, dengan cinta
kasihnya Mahatma Gandhi meminta kepada mereka yang berusaha menolongnya agar
membebaskannya dan mengampuni orang yang menembak dirinya.
Mulia bukan? Tak mudah memang. Tapi boleh lah kita mencobanya. Karena kemarahan akan sama buruknya dengan kebencian. Dan kemarahan menjadikan orang lupa kepada kebenaran, maka saya memilih diam sejenak untuk merenungkan apa yang terjadi di hadapan dan diri saya. Dan diam, bukan berarti marah......
No comments:
Post a Comment