
Tentu kami sangat gembira. Harapan kami, pengetahuan jurnalistik kami semakin luas dan terasah. Pelajaran dari mereka akan sangat berguna bagi profesi kami ketika rutinitas meliput kembali memanggil.
Datuk Ahmad A Talib, Direktur Eksekutif Berita Media Prima, kelompok New Strith Time Press (NSTP), memuali kelas dengan banyak pertanyaan mengapa para peserta International Journalism Fellowship (IFJ) 2009 yang diselenggarakan oleh Malaysian Press Institute (MPI) memilih profesi wartawan. Dia tidak yakin bahwa semua calon wartawan ketika diwawancara untuk pertama kali oleh sebuah perusahaan penerbitan memberikan alasan karena mencintai dunia tulis menulis. Jujur saya juga sependapat. Saya memilih profesi ini, pada awalnya karena alasan kebutuhan. Saya butuh pekerjaan dan butuh penghasilan. Saya butuh makan untuk mempertahankan hidup. Tan Su Lin, pewarta Radio Bernama 24 asal Malaysia pun menjawab dengan jujur. Dia sebenarnya sama sekali tidak memiliki latar belakang seorang jurnalis, karena dia adalah lulusan Jurusan Fisika di sebuah kampus di Malaysia. Tapi, untungnya dia suka dengan tantangan dan petualangan. Profesinya pun bisa dijalani dengan baik.
Rupanya, A Talib hendak menghubungan pertanyaan tersebut dengan kondisi dilema yang akan muncul ketika seorang wartawan menjalani profesinya. Kondisi dilema akan menghadang pada setiap wartawan yang memiliki kredibelitas dan integritas yang baik. Tentu tidak dengan wartawan yang hanya menjalankan perintah, tanpa mencoba membuat analisis kecil terhadap pemberitaan yang dibuat. Meskipun hanya sekali. Kesimpulan yang saya tangkap dari kalimat dan gerak tangannya, A Talib, menilai wartawan dengan tipe tersebut hanya akan menjadi alat kepentingan pihak perusahaan dan pada suatu saat nasibnya bisa mejadi tidak jelas.
“Tiga atau empat tahun, pergi kau!”
Kondisi dilema yang akan menghampiri seorang wartawan bisa jadi berupa permasalahan yang menyangkut dirinya sendiri. Semisal masalah pendapatan yang tidak sesuai dengan beban pekerjaan atau masalah pilihan pekerjaan lain. Apakah seorang wartawan merasa yakin bahwa profesi meliput, mewawancarai nara sumber, memotret lalau merekontruksinya dalam sebuah naskah berita untuk diterbitkan adalah sebuah profesi yang akan dijalani sebagai sandaran hidup? Pertanyaan seperti ini sering berkecamuk dalam diri seorang wartawan.
Namun, kata A Talib, kondisi tersebut adalah wajar. Lebih jauh dari itu, seorang wartawan akan sering dihadapkan pada banyak kondisi dilemma ketika melakukan peliputan di lapangan. Idealisme dan kemampuan analisisnya akan diuji dengan berbagai gempuran kepentingan.
Saya sangat sependapat dengan dia. Sebelum menuliskan sebuah berita, di belakang seorang wartawan ada berdiri banyak pandangan yang kekuataanya cukup besar dan bepengaruh terhadap tulisan seorang wartawan. Pertama, kekuatan pemilik perusahaan. Seorang wartawan harus menyadari bahwa dirinya bekerja pada sebuah perusahaan, apakah perusahaan penerbitan atau perusahaan penyiaran. Dengan demikian dia juga seorang pegawai yang tunduk dengan aturan perusahaan. Artinya, pemilih perusahaan memiliki kuasa atau kekuatan untuk melakukan campur tangan (intervensi) terhadap pekerjaan seorang wartawan. Semisal ketika sebuah pemberitaan yang ditulis seorang wartawan berkaitan dengan kepentingan para kolega pimpinan perusahaan, jika berita tersebut berupa keburukan, maka ada kemungkinan pimpinan perusahaan akan meminta untuk tidak menerbitkan. Jika hal tersebut terjadi, bagaimana anda menghindarkan intervensi pihak perusahaan agar tulisan anda bisa mengalir dan objektif? Ini adalah kondisi dilema bagi wartawan.
Baiklah kawan, kita bahas lebih jauh lagi. Selain bos anda, di belakang anda, masih ada bagian-bagian lain yang memiliki kepentingan besar untuk menopang keberlangsungan perusahaan anda. Misalanya, Departemen Iklan dan Sirkulasi. Dua departemen ini memiliki peran signifikan untuk menghidupi perusahaan yang pada akhirnya berdampak pada tingkat kesejahteraan wartawan.
”Anda akan merasa dilema ketika departemen lain meminta bantuan anda untuk meliput atau meminya untuk tidak menuliskan sesuatu,” katanya.
Ingat! Sebelum kembali ke kantor untuk menuliskan semua cerita yang anda dapat di lapangan, anda telah bertemu dengan begitu banyak orang. Sebut saja jumlah orang yang menggantungkan nasibnya terhadap pemberitaan yang anda tulis sekitar 23.000 jiwa. (Contoh, berita tentang penggusuran jalan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rumah-rumah rakyat tanpa ada kompensasi yang sepadan). Ini juga termasuk kondisi dilema yang akan menghantui seorang wartawan.
Pertanyaannya, jika seorang wartawan dihadapkan pada tiga konsisi dilema itu, seharusnya seorang wartawan berdiri atau memihak pada pilihan yang mana? Anda harus berdiri di belakang siapa? Di belakang kepentingan bos, Departemen Iklan dan Sirkulasi atau 23.000 jiwa yang berteriak meminta pertolongan anda? Etika pribadi atau etika moral akan menjawab, anda harus berdiri dibalik kepentingan masyarakat.
Tentu dalam praktiknya tidak semua kondisi dilema dapat diselesaikan dengan mulus. Maka, seorang wartawan harus memiliki kemampuan untuk menguasai dirinya. Akan jauh lebih baik jika dia juga memiliki kesadaran beragama yang baik. Alasanya saya kira cukup baik. Seorang wartawan memiliki tugas yang berat untuk mengubah kehidupan masyarakat dan mengontrol kebijakan pemerintah agar berjalan di dalam rel-nya.
“Kalau anda tidak bisa mengubah diri anda, apa anda bisa mengubah masyarakat. Jika tidak bisa melakukan, cobalah bepikir ulang untuk melakukan tugas besar mengubah kehidupan masyarakat,” tutur A Talib. ”Jangan menjadi redaktur (editor) kalau anda tidak memiliki semangat yang besar, atau tidak memiliki mental yang baik. Departemen redaksi tidak boleh melakukan kesalahan ataupun berbuat dosa.”
Di akhir diskusi, saya tidak menemukan solusi yang gamblang ketika seorang wartawan dihadapkan pada kondisi dilema. A Talib hanya memberikan gambaran bahwa dalam sebuah usaha pemberitan harus menjaga keseimbangan antara comercial content dengan intelectual content. Maka, seorang wartawan bisa menetukan sikap sendiri kapan dia harus berdiri di balik kepentingan perusahaan atau harus meninggalkannya karena ada banyak orang yang membutuhkan pertolongannya.
Tuesday, 6, 2009
Internation Fellowship Journalism 2009
Malaysian Press Institute
1 comment:
Ikut baca dan salam kenal ti Karawang ya bos :)
Post a Comment