Kisdiantoro
APA yang akan kita lakukan jika satu atau sepasang kaki yang kita miliki terluka atau terserang penyakit? Sebagai manusia normal dengan otak yang waras, tentu kita akan mengobatainya. Segala upaya akan kita lakukan, bahkan jika memungkinkan akan mencari pengobatan hingga ke luar negeri. Tujuannya, selain mendapatkan kesembuahan, kita menginginkan kondisi kaki akan pulih sempurna, tanpa cacat. Itulah upaya kita menjaga pemberian Tuhan yang kenikmatannya tak ternilai dengan uang. Bahkan uang para koruptor Indonesia jika dikumpulkan hingga berjumlah triliunan rupiah pun tak akan sebanding dengan fungsi sepasang kaki yang kita miliki.
Kita pasti masih ingat kecelakaan mobil yang menimpa anak ketiga musisi Ahmad Dhani, Ahmad Abdul Qodir Jaelani alias Dul, yang menewaskan enam orang. Dia sendiri mengalami patah kaki sebelah kanan. Apa yang dilakukan Dhani? Ia langsung membawa anak bungsunya ke RS Pondok Indah, Jaksel, untuk mendapatkan perawatan. Bahkan pada kesempatan berikutnya, ia merencanakan mencari pengobatan di Singapura agar kaki Dul segera pulih. Biayanya pasti akan mahal. Tapi Dhani akan melakukan itu demi kembalinya kaki Dul seperti ketika Tuhan menciptakannya.
Akhir pekan lalu, di Tangerang ada Asman (40), yang tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya ketika mendapatkan bantuan kaki palsu. Lanju kereta api telah menggilas kakinya dan mengakibakan ia cacat. Harga kaki palsu kisaran Rp 9 juta hingga Rp 15 juta. Harga yang mahal bagi masyarakat miskin. Meski telah mendapatkan kaki palsu, tetap saja tidak sebagus kaki pemberian Tuhan.
Anehnya, di Kota Bandung dan mungkin juga tempat lain, ada sebagin orang yang meledek kebesaran Tuhan dengan membuat kaki yang sempurna itu menjadi seolah cacat dan buntung. Mereka melakukan itu untuk mendapatkan belas kasihan orang-orang yang melintas di jalanan. Orang akan merasa iba dan menjatuhan keping atau lembaran uang. Usia para pengemis itu umumnya masih muda dengan tenaga yang kuat.
Buktinya, ketika Wali Kota Bandung Ridwan Kamil hendak bertanya penyebab kaki menjadi buntung, pengemis itu lari sekuat tenaga menghindari razia. Ridwan menjumpainya di lampu merah di perempatan Cibaduyut.
"Selama ini kakinya hanya dilipat tidak cacat. Bahkan saat akan dibawa, dia lari kencang hingga tak terkejar," ujar Emil di sela acara kunjungan ke Jalan Leuwipanjang, Selasa (3/12/2013). Usia orang itu sekitar 20 tahunan.
Menjadi pengemis memang tidak berdosa, tapi termasuk kelompok perkerjaan hina. Bahkan dalam agama Islam, Rasul Muhammad menggambarkan pengemis adalah manusia yang tak memiliki sekerat daging pun di wajahnya ketika menghadap Tuhan pada hari kiamat karena pekerjaannya yang mengemis kepada manusia (HR. Bukhari dan Muslim). Muhammad juga mengatakan, sesorang yang mengikat kayu bakar di punggungnya, lalu menjualnya, itu lebih baik daripada mengemis. Artinya, kita diajarkan untuk produktif dengan kondisi fisik sempurna maupun cacat.
Berpura-pura buntung berarti mengingkari karunia Tuhan. Tuhan bisa saja mengabulkan keinginan mereka memiliki kaki buntung. Cara mereka ngesot dengan kaki dilipat di sela para pengendara sepeda motor dan mobil, sangat rentan mengalami kecelakaan, semisal terlindas ban kedaraan. Jika itu terjadi, kepura-puraan itu akan menjadi nyata. Penyesalan pun menjadi tidak bermakna.
Menghapus mereka dari jalanan memang tidak mudah. Upaya Wali Kota yang hendak menciptakan Bandung bersih dari pengemis perlu dukungan masyarakat. Caranya? Mengikuti imbauan pemerintah untuk tidak bersedekah di jalanan. Pemerintah perlu segera merampungkan rencana pembangunan Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskesos) agar mereka bisa segera tertangani dengan pemberian pelatihan setelah tertangkap razia. Setelah diwisuda, mereka memiliki mental yang baik untuk meninggalkan profesinya sebagai pengemis, termasuk insyaf menipu masyarakat dengan berpura-pura kakinya buntung. Semoga kita termasuk orang-orang yang bersyukur. (*)
Bandung, 4 Desember 2013
No comments:
Post a Comment