Friday, June 24, 2016

Korupsi BPJS

APA kabar BPJS? Belum lama ini, pemerintah yang dinakhodai Presiden Joko Widodo berniat menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas tiga, dari semula Rp 25.500 menjadi Rp 30.000. Alasannya, biaya yang ditanggung pemerintah membengkak dan hampir mengalami kebangkrutan jika iuran tak dinaikkan.
Gelombang protes pun bermunculan, mulai dari pengguna layanan BPJS Kesehatan kelas 3, maupun dari kalangan DPR RI yang membidangi masalah tenaga kerja dan transmigrasi kependudukan serta kesehatan.
Aksi jalanan oleh aktivis buruh dan mahasiswa pun tak terbendung. Mereka berpendapat, kenaikkan iuran meskipun hanya Rp 4.500, yang bagi kalangan berduit uang sebesar itu seumpama sebutir debu, bagi golongan rakyat miskin, adalah beban. Dan hampir semua pengguna BPJS Kesehatan kelas 3 ini adalah masyarakat miskin.
Alasan lainnya, layanan berobat untuk kelas 3 kerap mendapat diskriminasi dan sangat tidak memuaskan. Semisal, antrean yang panjang dan perlakukan yang tak nyaman. Melihat kenyataan itu, akhir Maret 2016, Jokowi akhirnya membatalkan kenaikan iuran untuk pemegang kartu BPJS kelas 3.
Rakyat miskin tidak bersorak karena meski tidak naik, beban hidup mereka tidak serta-merta menjadi ringan. Tapi mereka tetap bersyukur, uang Rp 4.500 bisa untuk jajan anak. Obrolan soal BPJS Kesehatan mereda, tersisa layanan yang masih saja belum bisa membuat pasien secara ikhlas mengangkat jempol.
Senin (11/4), obrolan BPJS kembali menjadi tema utama di masyarakat. Tarif bakal naik? Bukan. Melainkan ada dugaan uang BPJS digelapkan.
Memang belum jelas betul, BPJS yang mana, kesehatan atau ketenagakerjaan.
Desas desus adanya operasi tangkap tangan oleh KPK yang berembus sejak pagi, terungkap bahwa KPK dan Kejaksaan telah menangkap seseorang jaksa perempuan bernama Devi, yang berdinas di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Devi disergap petugas KPK sebelum masuk ke kantor pada pukul 07.00.
Kasipenkum Kejati Jabar, Raymond Ali, menyebutkan penangkapan Devi terkait dugaan korupsi BPJS di Kabupaten Subang.
Devi kemudian diboyong ke kantor KPK Jakarta. Kasus korupsi BPJS di Subang merugikan uang negara Rp 685 juta. Ada kemungkinan jaksa ditangkap karena menerima gratifikasi. Namun, kepastiannya masih diteliti.
Jaksa sudah ditangkap. KPK kemudian mengurai kasus korupsi BPJS ini dengan menggeledah kantor Bupati Subang, Ojang Sohandi.
Dari kantor sang Bupati, KPK membawa sekoper berkas. Kantor lain yang digeledah KPK adalah Badan Penanaman Modal dan Perizinan (BPMP) Subang.
Apakah Pak Bupati terlibat? Beritanya belum jelas. Harapan saya dan juga masyarakat, Bupati Ojang tak terlibat dan tetap bisa memimpin Subang hingga paripurna.
Berharap nasibnya tak seburuk nasib bupati sebelumnya, Eep Hidayat.
Eep yang semula diputus bebas Pengadilan Tipikor Bandung atas perkara korupsi Biaya Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pemerintah Kabupaten Subang tahun 2005-2008 senilai Rp 2,5 miliar, divonis 5 tahun penjara oleh Mahkamah Agung. Upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (PK) Eep pun ditolak MA.
Mencuatnya kasus operasi tangkap tangan jaksa oleh KPK dan penggeledahan kantor bupati, kembali mengalirkan obrolan soal BPJS. Bagaimana mungkin pelayanan kesehatan akan semakin baik dan pasien segera sembuh kalau uang iuran dari masyarakat dikorupsi.
Segala keluhan soal layanan bisa dimentahkan pihak penyelenggara, yakni rumah sakit, kalau klaim pengobatan mandeg. Atau, para pekerja akan sakit hati, membayangkan uang iuran yang akan dinikmati di masa pensiun ternyata diselewengkan. (*)
Telah dimuat di Tribun Jabar edisi online, Selasa, 12 April 2016 08:32

No comments: