Saturday, June 25, 2016

Parsel Lebaran

Oleh Kisdiantoro
SELAMA Ramadan banyak orang mengirim makanan atau apapun yang bermanfaat kepada orang lain. Ini adalah hal yang lumrah, bahkan dianjurkan karena puasa yang dijalankan umat Islam yang muaranya menjadi manusia bertakwa, satu diantara parameternya adalah istikamah dalam berbagi atau bersedekah, baik di kala melimpah harta maupun saat sedang sempit.
Berbagi makanan ini, di banyak tempat, teruama di perdesaan, malah menjadi tradisi. Waktunya tak terbatas hanya selama Ramadan. Misalnya di Purwakarta, ada tradisi seba nagri, yakni menyerahkan beragam hasil bumi dari rakyat kepada penguasa.
Di daerah lain di Banyumas, Jawa Tengah, tradisi serupa pun masih berlangsung, terutama di desa-desa, dari petani ke kepala desa. Berbagi di antara warga dengan mengirimkan bingkisan berisi beras, telur, sayuran, atau jenis sembako lainnya pun masih lestari. Anda bisa menyaksikan peristiwa ini ketika ada keluarga yang membangun rumah atau hajat lainnya.
Tradisi berbagi selama Ramadan semakin terasa karena intensitasnya kian tinggi. Lalu, puncaknya pada hari-hari menjelangLebaran atau perayaan Idulfitri, orang-orang berlomba mengirim makanan, umumnya ketupat dan lauk pauknya, kepada keluarga atau sahabat. Pemberian itu sebagai bentuk rasa syukur dan tali pengikat persaudaraan. Tak terbesit di dalam sanubari mereka berharap untuk mendapatkan imbalan apapun. Bagi mereka yang menerima kiriman makanan atau bingkisan pun merasa gembira, tanpa terbebani harus menjanjikan sesuatu kepada pengirim, kecuali hendak melakukan kebaikan yang sama di waktu yang lain.
Pada masyarakat modern, mengirim bingkisan ini masih berlangsung. Hanya isi bingkisannya tak serupa dengan yang dikirim orang-orang desa kepada keluarganya. Isinya tak melulu makanan dan minuman saja, tetapi bisa berisi cenderamata berharga mahal. Kalau masih mempertahankan isi makanan, harganya tergolong mahal mulai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Menyesuaikan isinya yang bernilai mahal, namanya pun berubah. Orang kini menyebutnya "parsel."
Tradisi berkirim parsel menjelang Idulfitri masih berjalan wajar karena hal itu dilakukan dengan dasar ingin ikut merayakan kebahagiaan, berbagi karena ada kelebihan rezeki, mengikat tali persaudaraan, dan alasan positif lainnya.
Namun, tradisi berkirim parsel mulai diatur sejak bangsa ini terjangkit penyakit korupsi. Para perjabat atau PNS, mulai tingkat pusat hingga daerah, seperti di Kota Bandung, dilarang berkirim atau menerima parsel. Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, mewanti-wanti pegawainya tak menerima parsel merujuk kepada aturan KPK yang menyatakan parsel yang diterima PNS sebagai barang gratifikasi. Emil, demikian sapaannya, menegaskan akan memberi sanksi kepada aparaturnya yang menerima gratifikasi. Sanksi yang diberikan pun sesuai yang tertera dalam aturan KPK yang tertuang dalam Pasal 12B ayat (2) UU No 31/1999, jo UU No 20/2001.
Dalam pasal itu disebutkan ancaman hukuman bagi penerima gratifikasi ialah penjara seumur hidup atau penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun. Serta pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Larangan KPK dan Emil dapat dipahami karena banyak oknum yang mengirimkan parsel sebagai suap untuk tujuan tertentu, semisal mendapat proyek ratusan miliar dari pemerintah. Maka, isi parselnya pun tak lagi hanya makanan, tapi bisa jadi terselip kunci mobil atau kunci rumah.
Agar parsel tak memenjarakan pengirim dan penerimanya, wajarlah berkirim parsel diatur. Berkrimlah parsel dengan isi yang wajar. Niatnya pun harus tulus, setulus orang-orang desa yang berkirim sembako atau ketupat menjelang Idulfitri. (*)

Tribun Jabar Online, Selasa, 21 Juni 2016 11:36

http://jabar.tribunnews.com/2016/06/21/parsel-lebaran

No comments: