Wednesday, October 15, 2014

Pelajaran dari Dua Wanita Pekerja

RABU malam (9/7), dan malam berikutnya aku belajar bagaimana seorang perempuan bisa menangis. Ya, bagaimana menangis. Yang aku tahu, selama ini para perempuan lajang yang curhat ke aku hampir selalu menangis karena masalah petemanan mereka dengan pria. Atau, mereka yang berkeluarga, topiknya tentang suaminya yang mulai bersikap aneh. Aneh? Iya dong, aneh. Suami itu punya kewajiban untuk setia pada istri (selama baik menurut agama). Menjadi aneh, karena suami menjadi setia kepada istri orang atau perempuan lain yang menggodanya. Nah, Rabu malam lalu, perempuan itu tiba-tiba membangunkan aku melalui deringan telepon seluler-ku. Saat itu kelopak mataku sudah setengah menangkup.

Penasaran juga, siapa dia. Aku menekuk punggung lalu menopangkan siku ke lipatan kaki di atas ranjang. So, aku melihat jelas sebuah nama di layar ponselku. Dia perempuan pekerja di media cetak, di Bandung. Asyik juga berteman dengan dia. Ceria dan energik.
"Aku dipindah ke bagian costumer service," kata perempuan itu, sambil menangis.

Lha kok pake nangis. Aku diam, mencoba menerawang jauh ke dalam pikirannya, ganjalan yang menjadikan hujan air mata. Okay, aku bisa menebaknya. Seminggu sebelumnya, ia bercerita tentang kecurigaan bosnya tentang pegawai costumer service. Sang bos, khawatir data pelanggan perusahaan diduplikat karena sang pegawai berpacaran dengan pria yang bekerja di perusahaan kompetitor. Padahal perempuan teman aku itu berteman baik dengan pegawai costumer sevice, Mba Kusumaningtyas. Pertemanan mereka yang baik, membuahkan emosi yang dekat. Sampai-sampai mereka saling bantu, meskipun jatah kerja mereka beda. "Bagus juga, perteman kalian," kataku.

Teman perempuanku, menangis karena ia tahu persis alasan bosnya menukar posisi dengannya. Bukan karena alasan ingin me-refresh kerja atau share kemampuan pada semua karyawan. Tapi karena sebuah kecurigaan. Kataku, yang namanya kecurigaan tidaklah harus terjadi. So (lagi), kalau emang kerjanya baik, beri kesempatan dia untuk berbuat baik. Ini lah sisi lain dunia kerja. Terkadang, sang bos mengada-ada alasan untuk kepentingan mereka sendiri. Dan sang pekerja, tak punya pilihan kecuali harus nurut. Tak sepakat, berarti "mundur."

Malam berikutnya, Kamis (10/9), aku kembali mendengar suara tangisan perempuan melalui ponselku. Suaranya parau. Bisa jadi ia sudah menangis bejam-jam sebelum menelponku. Dia juga seorang wanita pekerja di media cetak. Posisinya sama denganku, penulis harian untuk berita seputar kota. Yang aku tahu, dedikasi dan loyalitas untuk perusahannya sangat baik. Aku bilang begitu karena dua kali berturut-turut perempuan ini dianugrahi penghargaan the best employee of the year. Gak mudah loh untuk dapet predikat itu. Pertama, loyalitas harus baik. Kedua kinerja juga harus baik.

"Aku dimusuhi orang sekantor, gara-gara aku nggak mau nulis yang baik-baik soal calon incumbent. Lha, semua kan harus seimbang. Aku melengkapi beritaku dari panwas, dan ketua KPU, eh mereka malah nggak mau," katanya.

Aku mengulang adegan seperti malam sebelumnya. Diam, dan mencoba menelusuri jejaring masalah yang menimpa teman perempuanku. Dugaanku semakin jelas, kalau para petinggi di kantor dia ada kepentingan dengan pilkada Kota Bandung. Kok tahu? Mudah saja menganalisinya. Secara tidak sengaja aku sering mendengar cerita dari teman-teman kantornya, mereka mengeluh karena tulisnnya sering nggak kepakai atau dipungut pada bagian yang nggak penting banget.

"Percuma saja liputan ini (calon lain, red), paling juga nggak kepakai," kata mereka.

Analilis lain, calon incumbent masuk dalam jajaran pengurus sebuah organisasi yang sama dengan petinggi-petinggi di tempat kerja teman perempuanku itu. Lha, pasti emosi mereka bakal bermain. Menurutmu, teman harus didukung kan? Siapa tahu kecipratan jatah (korupsi). Ini lah pelajaran kedua, perempuan bisa menangis gara-gara idealismenya diberangus oleh orang lain. Dan dia, lagi-lagi tak punya pilihan. Semakin menguatkan kesimpulanku yang pertama, bahwa bos akan mebuat alasan yang nggak penting untuk kepentingan mereka. Ingat, hari kiamat sudah dekat. Kematian tak bisa menyelamatkan harta yang melimpah. Istigfar.....istighfar..... masih ada kesempatan untuk bertobat, maka bertobatlah

No comments: