
Majikannya membadrolnya seharga Rp 250.000 setiap kali kencan. Tapi, uang itu tak semua menjadi miliknya. Ia harus berbagi dengan majikan dan calo yang mengantar tamu. Sekali kencan, rata-rata ia menghabiskan waktu selama 60 menit.
Akhir pekan atau masa liburan adalah waktu yang paling ditunggu-tunggu. Selama itu, perempuan muda itu akan mendapatkan banyak rezeki setelah melayani banyak tamu.Tidak hanya lima orang, tapi bisa tujuh orang dalam semalam.Kisah memilukan ini dikutip dari sebuah artikel di laman kompas.com pada akhir tahun 2012.
Seharusnya di tahun itu, di bekas lokalisasi Saritem sudah tak ada kisah semacam itu, karena Dada Rosada yang saat itu masih menjabat sebagai wali kota, pada April 2007 telah menutup lokalisasi Saritem dari kegiatan prostitusi. Meski ada perlawanan dari penduduk setempat yang menggantungkan hidup dari usaha prostitusi, tapi akhirnya para germo dan perempuan tuna susila (PSK) sepakat pulang kampung untuk beralih profesi.
Setelah peristiwa itu, Kota Bandung seolah sudah mengubur dalam kegiatan prostitusi di bekas lokalisasi Saritem. Tapi, kenyataanya secara diam-diam para pekerja seks yang semula "pamitan" pulang dan memilih usaha lain, kembali lagi ke Saritem. Para laki-laki yang hobi "jajan" pun kembali mampir.
Selain kisah perempuan muda yang dalam semalam melayani lima orang tamu itu, beberapa hari lalu, tepatnya pada Jumat (13/6), dalam operasi penyakit masyarakat yang dilakukan oleh Satpol PP Kota Bandung dibantu aparat Polisi dan TNI, menjaring sejumlah perempuan pekerja seks, berikut laki-laki hidung belang yang hendak berkencan. Petugas juga menemukan 4.000 botol miuman keras berbagai merek.
Seperti halnya yang ditakutkan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, dalam sebuah tayangan televisi hingga dia menangis, lokalisasi prostitusi membahayakan bagi anak-anak. Apalagi mereka baru berstatus sekolah dasar (SD) dan SMP. Membahayakan karen anak-anak rupanya sudah berani patungan untuk membayar seorang pekerja seks dan melakukan adegan sebagaimana mereka tonton dalam sebuah video mesum.
Mengerikan bukan? Ulah anak-anak sekolah itu pun menjadikan seorang nenek tua yang mestinya pensiun dari dunia prostitusi tetap melakukan pekerjaan tersebut. Dia menampung anak-anak sekolah yang hanya mampu membayar dengan uang recehan. Dengan alasan itu pula kemudian Pemerintah Kota Surabaya menutup lokalisasi prostitusi Dolly dan Jarak. Yah, meskipun banyak mendapatkan tentangan dari warga dan PSK di tempat itu. Dada Rosada pun saat memutuskan menutup Saritem satu di antaranya karena alasan melindungi anak-anak dari pengaruh negatif kegiatan prostitusi.
Memang tidak akan mudah menutup bekas lokalisasi Saritem hingga benar-benar bersih dari kegiatan prostitusi. Menurut catatan, usia bekas lokalisasi Saritem sudah lebih dari 170 tahun. Saritem pada mulanya didirikan oleh orang-orang Belanda yang tinggal di tanah Priangan dan konon sudah ada sekitar tahun 1838.
Meskipun sepertinya sudah mengakar, dengan tekat yang kuat dan program kemanusiaan yang digalakan Pemkot Bandung, penutupan Saritem yang sudah berlangsung pada 2007 lalu itu akan benar-benar tutup. Rencana Wali Kota Bandung Ridwan Kamil yang akan menjadikan Saitem sebagai pasar tematik perlu dicoba dan segera direalisasikan. Dengan cara itu, warga setempat yang semula mengantungkan hidup dari kegiatan prostitusi bisa beralih mejadi pedagang atau pekerja di sentra usaha tersebut. Jika hal ini benar-benar berjalan, Satpol PP sebagai kepanjangan tangan pemerintah tidak boleh lengah. Mereka tetap melakukan pembinaan dan razia secara rutin agar kegiatan prostitusi tidak kembali beroperasi. Ingat! Kita tidak ingin anak-anak menjadi korban dan masa depannnya rusak karena terjebak dalam kubangan dunia prostitusi. (*)
Bandung, 19 Juni 2014