Satu Shelter Tiap 200 Meter
Kemacetan di kawasan Bukit Damansara, pinggiran Kota Kuala Lumpur, baru saja dimulai. Deretan panjang kendaraan roda empat itu terjadi sekitar pukul 17.00 waktu setempat. Saya dan beberapa kawan dari Indonesia mulai cemas. Kami akan mengurungkan niat pergi ke Bangsar Village, sebuah kawasan pertokoan dan restoran di Kuala Lumpur, jika kemacetan menjadi-jadi.
“Jangan-jangan sama seperti di Jakarta atau Bandung, kalau macet bisa berjam-jam,” kata Indah Dian Novita (25), asal Jakarta.
Kami menunggu beberapa saat, berharap kemacetan segera mencair. Ahhh, lega. Ternyata, kemacetan hanya terjadi sesaat. Tak lebih dari 30 menit.
Kami mulai mencari transpotrasi umum yang melaju ke Bangsar Village. Gaz Gazali (31), pria asal Malaysia bagian Serawak menyarankan kami untuk naik taksi. Di kawasan Bukit Damansara, taksi menjadi transportasi umum utama. Sebenarnya ada pilihan lain, Rapid KL (semacam bus kota atau Trans Metro Bandung di Kota Bandung). Tapi di kawasan tempat kami menginap, Rapid KL tidak banyak. Alasannya, mungkin karena hampir semua keluarga di sini memiliki mobil sendiri.
Kami memutuskan menggunakan taksi. Aneh. Semua taksi melaju kencang. Mereka tak berhenti meskipun kami berulang-ulang mengibaskan telapak tangan. Gaz—sapaan akrab Gazali, mulai mentertawakan cara kami menghentikan taksi.
”Taksi tak akan berhenti, kecuali di taksi stop (halte/shelter),” kata Gaz.
Saya dan Dian pun tertawa. Kami tidak sadar, bumi yang kami pijak bukanlah Bandung. Bukan pula Jakarta. Gaz mengajak kami berjalan menyusuri tepian Jalan Semantan. Tidak jauh. Mungkin sekitar 50 meter dari tempat semula, kami menemukan sebuah shelter taksi. Tempat yang amat jarang di temukan di Kota Bandung.
Orang Malaysia menyebutnya Teksi Stop (pemberhentian taksi). Tempatnya luas. Panjangnya kira-kira 6 meter. Di sana ada tempat duduk berupa pipa besi dilapisi cat anti karat yang ditanam ke tanah. Di depannya, ada pipa besi berukuran serupa sebagai pengaman atau tempat menyandarakan tangan saat seseorang berdiri menunggu kedatangan taksi. Penunggu taksi juga tak akan kehujanan jika musim hujan mulai tiba. Atap dari plat cukup nyaman untuk berteduh.
Meskipun ada shelter taksi, kendaraan yang melaju di depannya tidak ada terganggu. Apalagi sampai menimbulkan kemacetan besar seperti yang sering terlihat di Jalan Soekarno-Hatta, Jalan Dago, Jalan Merdeka dan sejumlah jalan lain di Kota Bandung. Shelter taksi di sini didisain berbeda dengan shelter-shelter di Kota Bandung. Jarak antara shelter dan badan diberi jarak beberapa meter untuk parkir taksi. Dengan demikian ketika taksi berhenti posisinya tidak di badan jalan, melainkan berada di area khusus yang diberi tanda ”Taksi Stop.”
Selain tong sampah dan telepon koin, saya tidak menemukan perabot lain yang menjadikan shelter nampak kumuh. Kalau di Bandung, tempat sebagus itu pasti digunakan untuk berdagang, kalau bukan koran mungkin vouher handphone. Atau, makanan ringan. Kalau ingin bukti, cobalah tengok beberapa shelter angkutan kota di dekat terminal bus Leuwipanjang atau di Jalan Dago.
Dua buah taksi menghampiri kami. Beberapa saat kemudian taksi melaju dan sampailah di Bangsar Village. Di sepanjang jalan, saya menemukan banyak shelter taksi dan Rapid KL. Saya penasaran, tiap berapa meter masyarakat Malaysia dapat menemukan taksi atau bus stop.
”Mereka sangat mudah menemukannya, kira-kira tiap 200 meter ada satu taksi atau bus stop, bahkan ada yang sangat dekat,” jawab Gaz.
Kemudahaan yang disediakan oleh Dewan Bandaraya Kula Lumpur (pemerintah kota) dengan menyediakan fasilitas pemberhentian transportasi umum menjadikan mayarakat tertib. Mereka tidak menunggu taksi atau bus di sembarang jalan. Mereka juga tidak membuang sampah sembarangan karena di sekitar shelter dilengkapi dengan tong sampah. Prilaku tertib juga mulai dilakukan oleh para sopir taksi. Mereka akan membiarkan orang-orang yang menunggu taksi di luar pemberhentian taksi.
Yang juga menarik, semua fasilitas itu terpelihara dengan baik.
”Pemerintah sudah memberikan kemudahan, kalau dirusak akan menyulitkan mereka sendiri,” tambah Gaz.
Di kesempatan lain, saya bersama beberapa kawan dari Indonesia mecoba menaiki transportasi umum Rapid KL. Kami melakukan itu sepulang kongkow di kawasan Cina Town di Kuala Lumpur.
Banyak hal yang menarik. Selain tampilan bus-nya bagus, tempat duduknya pun empuk. Semua Rapid KL dilengkapi dengan AC. Penumpang tidak perlu berteriak ”kiri bang” ketika sudah mendekati tujuan. Penumpang cukup memencet tombol yang tersedia di beberapa sudut di dalam bus. Sopir akan mendengar pekikan suara dan menghentikan laju Rapil KL di sebuah pemberhentian bus.
Sepanjang jalan, saya tidak melihat sopir bus menghentikan laju bus-nya di sembarang tempat untuk mengangkut penumpang. Demikian sebaliknya, tak ada penumpang yang meminta berhenti di sembarang tempat. Bagaimana dengan bus kota atau TMB di Kota Bandung? Silahkan anda lihat sendiri. Ketidaktertiban berlalu lintas inilah yang mungkin menjadi penyokong terjadinya kemacetan. Apalagi ukuran bus kota atau TMB jauh lebih besar dibandingkan dengan kendaraan lain.
Jumaahtul Abdul Gani (31), seorang kawan tinggal di Selangor, sekitar 20 kilometer dari KL, menambahkan banyak informasi tentang transportasi umum. Katanya, ada beberapa jenis transportasi umum, taksi, Rapid KL dan monorel. Ketiganya digunakan sesuai dengan kepentingan masyarakat. Jika ingin murah dan tak diburu pekerjaan, masyarakat lebih suka menggunakan bus.
Seperti yang dikatakan Gaz, di Kuala Lumpur banyak ditemukan pemberhentian bus dan taksi. Terutama berada di tempat-tempat ramai seperti mal, perkantoran dan kawasan perumahan rakyat.
Dari sekian banyak sopir, kata Jum, ada di antaranya yang ugal-ugalan, menyetir dengan kecepatan tinggi. Namun, pada umumnya mereka tetap tidak melayani penumpang di yang menunggu di sembarang temapat.
”Kerajaan berusaha keras melakukan kampanye agar masyarakat mengendarai mobil lebih hati-hati, untuk menghindai kecelakaan. Setiap hari banyak polisi di jalan. Di beberapa tempat ada menara yang digunakan polisi untuk mengamati jalan. Pelanggar lalu lintas akan diambil gamar, lalu dikirim ke police traffic untuk didenda,” katanya.
Untuk masalah kemacetan, pemerintah kota telah berupaya melakukan kampanye untuk berkongsi mobil. Namun, kampanye itu tidak mendapat respon baik. Bisa dikatakan, setiap orang membawa mobil sendiri untuk melakukan aktivitas bekerja.
Pemerintah tidak berhenti sampai di sana. Cara lain yang dilakukan untuk mengatasi kemacetan adalah memperbaiki fasilitas transportasi publik agar menjadi lebih efisien dan menarik perhatian masyarakat untuk memakai transportasi massa. Semisal dengan menambahkan jaringan kereta api dalam kota menuju ke wilayah-wilayah pinggiran yang sulit dijangkau dengan transportasi umum. (kisdiantoro)